Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Prestasi Akademis Itu Penting, tapi Belum Cukup "Sakti"

20 Januari 2024   05:31 Diperbarui: 20 Januari 2024   05:35 801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkenankan saya untuk menuliskan pengalaman saya ketika mengikuti program magister manajemen di sebuah perguruan tinggi negeri di Pulau Jawa, di akhir dekade 1990-an.

Alhamdulillah, saya ikut program S2 tersebut karena lolos seleksi dari sekian banyak pelamar. Para pelamar itu, seperti juga saya, adalah pekerja di sebuah bank papan atas nasional.

Jadi, selama kuliah saya dibebaskan dari pekerjaan. Pekerjaannya ya kuliah itu. Gaji bulanan tetap hidup, sementara itu semua biaya kuliah termasuk pembelian buku-buku dibayarkan kantor.

Jika saya tidak lolos seleksi, mungkin saya akan mengambil program kuliah S2 malam atau program kuliah di Sabtu-Minggu. Itupun dengan biaya sendiri dan tetap bekerja secara normal.

Kenapa demikian menggebu-gebu minat pekerja di bank tersebut untuk kuliah S2? Apakah mereka memang haus ilmu pengetahuan?

Bukan, mereka (termasuk juga saya) tidaklah se-idealis itu. Motivasi kuliah terutama karena berharap akan jadi faktor pendukung untuk pengembangan karier ke depan.

Apalagi, di waktu itu ada kebijakan di perusahaan tersebut, bagi pekerja yang hanya berijazah S1, kariernya mentok di level kepala bagian (di kantor pusat dan kantor wilayah) atau kepala cabang.

Maka, mendadak sontak banyak pekerja yang mengambil kuliah dengan biaya sendiri setelah jam kerja selesai atau di luar hari kerja.

Itu pun jika lulusan S2 dari perguruan tinggi yang kualitasnya diragukan, oleh pihak manajemen tidak diakomodir sebagai pekerja yang dipertimbangkan untuk dipromosikan.

Padahal, saat itu ada seorang direktur yang terkenal pintar, meskipun hanya lulusan SMEA (setingkat SMA), namun beliau rajin mengikuti berbagai pelatihan di dalam dan luar negeri.

Tapi, direktur utamanya ketika itu lagi nyambil kuliah S3. Belakangan, ketika sudah tidak dirut lagi, beliau jadi pengajar di sebuah perguruan tinggi swasta dan dapat gelar guru besar.

Berikutnya, ada yang menarik ketika di perusahaan tempat saya bekerja, pada tahun 2005 yang menjadi dirut "hanya" seorang lulusan D3 Akuntansi.

Apakah ada kaitannya dengan gelar akademis sang dirut atau tidak, ketentuan harus S2 untuk promosi jabatan ke eselon yang lebih tinggi, tidak lagi diberlakukan secara mutlak.

Meskipun begitu, sang dirut akhirnya meraih S1 di sebuah universitas swasta, dan bahkan meraih gelar doktor kehormatan di perguruan tinggi swasta lainnya.

Memang, kalau bos-bos yang kuliah, anak buahnya yang pintar jadi ikut sibuk menyiapkan berbagai makalah, termasuk menyusun tesis dan disertasi.

Menurut perasaan saya, jumlah lulusan S2 sudah banyak, sedangkan S3 memang belum terlalu banyak. Meskipun begitu, eksekutif perusahaan yang ikut S3 mulai jadi tren.

Ternyata, menurut Presiden Jokowi rasio jumlah lulusan S2 S3 di negara kita masih sangat rendah, jauh di bawah kondisi di Malaysia. Apalagi, bila dibandingkan dengan negara yang lebih maju.

Secara umum, menurut saya biaya kuliah S2, apalagi S3, cukup mahal. Jadi, kalau keuntungan setelah lulus tidak terlalu menjanjikan, wajar bila tidak terlalu banyak peminatnya.

Apa keuntungan yang diharapkan seorang lulusan S2? Tujuan masing-masing orang untuk kuliah pascasarjana bisa berbeda-beda.

Namun, biasanya ijazah S2 bagi yang belum bekerja diharapkan bisa membantu dalam memperoleh pekerjaan yang diinginkan.

Sedangkan bagi yang mereka yang sudah bekerja, tentu mereka berharap akan menjadi nilai lebih untuk peningkatan karier. 

Hanya saja, perlu disadari, kenyataannya banyak lulusan S2 dalam rekrutmen staf baru di suatu perusahaan, disamakan saja dengan S1.

Nanti, setelah bekerja dan terlihat yang lulusan S2 lebih menonjol dalam aspek pemikiran analitis, pemikiran konseptual, dan pemikiran strategis, kariernya bisa lebih cepat melesat.

Namun, kemelesatan itu hanya hingga manajemen lapisan tengah. Untuk masuk lapisan atas, faktor kemampuan membina jaringan, termasuk politicking, jadi penentu.

Tadi sudah disebut soal mahalnya biaya kuliah pascasarjana. Hanya anak dari keluarga kaya yang banyak langsung mengambil S2 setelah wisuda S1, antara lain karena asal tidak menganggur.

Sedangkan mahasiswa dengan ekonomi rata-rata, jika ingin segera kuliah lanjutan, harus rajin berburu beasiswa dari dalam dan luar negeri.

Jadi, urgensi kuliah pascasajana dalam kaitannya untuk mencari pekerjaan, bisa dikatakan relatif penting. Mirip dengan pentingnya lulusan S1 memiliki indeks prestasi akademis yang tinggi.

Artinya, untuk dipanggil seleksi penerimaan karyawan, gelar S2 atau S1 dengan indeks prestasi tinggi biasanya jadi persyaratan.

Namun, setelah diterima bekerja, agar mampu bersaing meraih jabatan lebih tinggi, prestasi akademis saja tidak cukup "sakti".

Maksudnya, gelar S2 S3 itu tidak menjamin atau bukan merupakan tiket meraih posisi lapisan manajemen puncak, yang kalau di sebuah perusahaan artinya menjadi anggota direksi.

Ada teman saya yang sudah S3, tapi kaku dalam berkomunikasi serta sangat vokal dalam mengkritisi kebijakan manajemen, akhirnya karier mentok dan memilih resign.

Ada pula yang hanya sekadar lulus S1, namum pintar bergaul dan jaringan pertemanannya dengan berbagai kalangan sangat luas, akhirnya terpilih menjadi salah seorang direktur.

Nah, kembali ke pendapat Presiden Jokowi tentang sedikitnya lulusan S2 S3, tentu beliau melihat dari sisi kepentingan negara secara makro.

Dalam hal ini, lulusan S2 S3 yang banyak, diperlukan dalam rangka mencetak sumber daya manusia (SDM) yang unggul. 

Pemerintah tentu akan berupaya membuat kondisi yang lebih baik agar semakin banyak lulusan S2 S3, namun perlu dibarengi dengan peningkatan peluang mereka berpartisipasi dalam pembangunan.

Kualitas SDM adalah faktor penentu bagi kemajuan suatu bangsa dan pendidikan tinggi menjadi sarana utama untuk mencetak SDM unggul tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun