Saya punya hobi menonton pertandingan olahraga, khususnya sepak bola dan bulu tangkis. Tapi, untuk bermain sepak bola atau main bulu tangkis, sangat jarang saya lakukan.
Hanya di waktu kecil saja, hingga usia belasan tahun, saya relatif sering bermain sepak bola dan bulu tangkis. Hal itu saya lakukan untuk hepi-hepi saja, bukan untuk berprestasi.
Maka, setelah dewasa, saya tak pernah mencantumkan olahraga sebagai hobi saya. Soalnya, saya menyadari saya tidak hobi memainkannya, hanya hobi menonton pertandingannya.
Masalahnya, hobi atau tidak, berolahraga itu bisa dikatakan "wajib" dilakukan secara konsisten demi kesehatan diri kita sendiri, minimal 30 menit setiap harinya.Â
Nah, kebetulan dekat rumah saya di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, ada taman kecil. Ya, orang-orang menyebutnya sebagai taman.
Padahal, saya tidak melihat aneka bunga di taman itu. Hanya ada lahan kosong terbuka berlantai semen dengan beberapa fasilitas permainan anak-anak di salah satu sudutnya.
Di taman itu lah saya mengajak anak bungsu saya untuk main bulu tangkis tanpa net. Hanya sekadar berbalas pukulan bulu ayam (shuttlecock) saja, hingga berkeringat.
Untuk bermain bulu tangkis secara benar di lapangan yang disewa, saya masih takut. Bukan karena tidak kuat membayar sewa, tapi khawatir ditertawakan orang lain.
Soalnya, karena faktor usia dan bobot tubuh yang sedikit overweight, gerakan saya sudah lamban. Pasti saya akan jadi bulan-bulanan pemain lain.
"Ketakutan" saya itu mungkin terlalu berlebihan, dan saya mempertimbangkan untuk tidak lagi menghiraukannya.
Apalagi, saya baru saja menonton siaran berita yang dipancarkan salah satu stasiun televisi. Ternyata, sekarang di beberapa pasar tradisional yang dikelola Pasar Jaya, ada lapangan bulu tangkis.
Bagi warga Jakarta yang sering mengamati perkembangan pasar tradisional, tentu mengetahui, betapa sepinya pasar tersebut yang kalah bersaing dengan mal dan minimarket.
Pasar tradisional itu kesannya kumuh, becek kalau hujan, dan panas kalau tidak hujan karena tidak pakai AC. Inilah alasan kenapa para pelanggannya pergi.
Sementara itu, pasar swalayan terasa nyaman, semua barang harian yang dibutuhkan pelanggan tersedia, dan harganya tetap tanpa perlu tawar menawar.
Tapi, mengingat pasar tradisional menjadi tempat banyak sekali pedagang kecil menggantungkan nasibnya, tentu pemerintah daerah berupaya untuk merevitalisasi pasar tradisional.
Selain itu, sekarang banyak pula imbauan kepada masyarakat luas untuk kembali berbelanja di pasar tradisional, termasuk di warung tetangga.
Agar pasar tradisional di Jakarta kembali ramai, ada yang rooftop-nya dijadikan tempat kuliner seperti food court yang ada di mal. Ya, tidak persis sama, tapi mirip itulah.
Banyak pula yang dimanfaatkan untuk tempat olahraga, misalnya menjadi lapangan bulu tangkis dengan standar yang betul.
Inilah yang saya lagi mencari informasi, di pasar tradisional mana saja yang ada lapangan bulu tangkis.
Menurut berita di televisi, yang jelas ada di Pasar Palmerah. Tapi, itu relatif jauh dari rumah saya.
Dari hasil penelusuran saya melalui aplikasi pencari informasi, di Pasar Pejagalan juga ada lapangan bulu tangkis. Tarifnya murah, Rp mulai dari 40.000 per sesi.Â
Sayangnya, lokasi pasar itupun jauh dari rumah saya. Namun, dalam bayangan saya, main bulu tangkis di pasar tradisional lebih asyik karena bisa sekalian membeli jajanan tradisional.
Di pasar yang paling dekat kediaman saya, yakni Pasar Tebet Timur (sering disebut dengan Pasar PSPT), yang ada malah lapangan futsal yang digemari oleh para remaja setempat.
Apa boleh buat, saya harus puas main bulu tangkis tanpa net di taman dekat rumah saya, paling tidak untuk sementara ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H