Ketimpangan yang diangkat di sini lebih difokuskan pada 2 kelompok, yakni kelompok Aparatur Sipil Negara (ASN) dan kelompok buruh.
Tahun 2024 menjadi tahun yang menggembirakan bagi semua ASN, karena gajinya naik sebesar 8 persen, seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo di Gedung Parlemen, Agustus lalu.
Tak salah pula, melihat kenaikan gaji ASN, para buruh yang tergabung dalam berbagai serikat pekerja, menuntut kenaikan upah yang juga minimal 8 persen.
Kenyataannya, Upah Minimum Provinsi (UMP) untuk para pekerja atau buruh hanya naik berkisar dari 1,2 persen sampai 7,5 persen atau Rp 35.750 hingga Rp 223.280 (Kompas, 22/11/2023).
Kenaikan sebesar 7,5 persen adalah di Provinsi Maluku Utara, sedangkan yang hanya 1,2 persen di Gorontalo. Untuk DKI Jakarta naik 3,8 persen.
Adapun di provinsi lainnya, banyak yang naik di kisaran 3 dan 4 persen. Ini tidak berbeda jauh dengan laju inflasi tahunan di Indonesia.
Antara buruh dan ASN memang bukan perbandingan yang apple to apple. Keduanya punya sumber penghasilan yang berbeda, dan bisa saja disebutkan antara keduanya tidak berkaitan sama sekali.
Artinya, kelompok buruh tidak perlu cemburu kepada para ASN. Anggap saja hal ini sudah begitu adanya alias sudah sesuai garis tangan masing-masing.
Sumber gaji ASN berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), sedangkan buruh dari kondisi keuangan masing-masing perusahaan tempat mereka bekerja.
Sumber dana APBN sebagian besar berasal dari pajak yang disetor pengusaha. Ada berbagai jenis pajak yang dibayarkan perusahaan, tapi yang terbesar berupa pajak penghasilan atas laba yang diraihnya.
Bagaimana kalau pengusaha menaikkan upah buruh lebih tinggi? Tentu keuntungan perusahaan akan berkurang yang berujung pada berkurangnya setoran pajak penghasilan perusahaan.