Dalam 6 bulan terakhir ini, sudah beberapa kali saya melakukan perjalanan dari Pekanbaru di Provinsi Riau ke kota Payakumbuh di Provinsi Sumatera Barat.
Kebetulan, setiap melewati Kota Bangkinang (sekitar 65 km dari Pekanbaru dan masih masuk Provinsi Riau), selalu pada saat makan siang, sekitar jam 13.00 hingga 14.00 WIB.
Biasanya, saya akan melewati kota Bangkinang, sekitar 10 km setelah pusat kota, untuk menikmati nasi soto yang memang banyak pelanggannya.
Namun, suatu kali di bulan Juli lalu, di sebuah rumah makan di pusat kota Bangkinang terbaca oleh saya ada menu spesial di sana, yakni sambalado tanak.
Seketika saya terbayang dengan masa kecil, saat saya begitu lahap makan nasi bila ibu saya membuat sambalado tanak sebagai lauknya.
Bagi yang belum tahu, sambalado tanak adalah salah satu sambal khas Minang yang bahannya cabai giling, santan kelapa yang sudah dimasak, ikan teri, petai, dan rempah-rempah lainnya.
Eh, ternyata saat saya masuk restoran itu, sambalado tanaknya sudah habis. Kepada saya diperlihatkan bekas tempat sambalado tanak yang memang sudah kosong.
Tempelan warna merah atau lebih tepatnya orannye di pinggir wadah yang diperlihatkan ke saya, meyakinkan saya bahwa wadah itu tadinya untuk sambalado tanak.
Tentu, saya harus puas untuk memesan menu lain, termasuk jenis sambal yang boleh dikatakan standar rumah makan Padang, yaitu sambal goreng merah dan sambal cabe hijau.
Mungkin karena disajikan dalam kondisi panas, baik nasi maupun lauknya, rasanya sungguh maknyus. Keringat saya mengucur deras, pertanda saya makan dengan antusias.