Harga cabai jadi topik yang hangat dalam pemberitaan sejumlah media massa. Soalnya, harga cabai akhir-akhir ini naik gila-gilaan dan terjadi merata di berbagai daerah.
Bahkan, di Maluku harga cabai rawit merah sudah menembus Rp 100.000 per kilogram (kg) seperti diberitakan cnbcindonesia.com (30/10/2023).
Bukan hanya di Maluku, di Jakarta pun harga tertinggi cabai rawit merah mencapai Rp 100.000 per kg dan cabai merah keriting mencapai Rp 90.000 per kg yang dijual di Pasar Kramat Jati.
Padahal, sebulan sebelumnya, harga cabai rawit merah secara rata-rata antar provinsi masih di kisaran Rp 70.000-an.Â
Turunnya produksi cabai karena kemarau panjang atau El Nino disebut sebagai penyebab naiknya harga oleh Dirjen Hortikultura Prihasto Setyanto.
Sementara itu, Menteri Pertanian yang belum lama dilantik, Andi Amran Sulaiman, mendorong gerakan penanaman cabai melalui Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL).
Program KRPL tersebut dibangun dalam satu kawasan dengan prinsip pemanfaatan pekarangan rumah yang ramah lingkungan.Â
Dengan demikian, diharapkan masyarakat bisa terpenuhi kebutuhannya akan cabai dan bahkan berpotensi untuk meningkatkan pendapatan.
Masalah kenaikan harga cabai memang bukan soal kecil, mengingat tingkat konsumsi cabai di negara kita yang semakin meningkat.Â
Jangan kaget dengan umpatan emak-emak yang lagi berbelanja di pasar tradisional, begitu mengetahui harga cabai naik lagi dan naik lagi.
Bukankah emak-emak itu takut diomelin suaminya bila masakannya tidak memenuhi tingkat kepedasan yang disukai suami dan anak-anaknya di rumah?
Ya, bisa saja emak-emak itu beradu argumen dengan suaminya kenapa masakannya jadi kurang pedas, yakni dengan alasan uang belanja dari suami sudah tidak cukup lagi.
Akhirnya, gara-gara harga cabai yang naik, suami istri bisa ribut bersitegang urat leher.
Orang Indonesia sepertinya tak berselera makan nasi kalau lauknya tidak ada unsur pedasnya atau kalau tidak ada sambalnya.
Dulu, hanya beberapa daerah tertentu saja yang terkenal dengan makanan tradisionalnya yang pedas karena mengandung banyak cabai, seperti masakan Padang.
Tapi, belakangan ini, semua daerah seperti berlomba-lomba menyajikan makanan pedas. Bahkan, masakan Sunda yang terkenal manis pun menyediakan berbagai jenis sambal.
Jadilah sambal merupakan yang wajib ada, termasuk sambal dalam kemasan yang disediakan banyak gerai makanan cepat saji.
Hebatnya, anak muda zaman sekarang, meskipun menggemari makanan asing, tetap menyukai rasa pedas. Padahal, makanan asing tersebut di negara asalnya tidak diberi sambal.
Ada semacam kebanggaan bagi anak-anak muda bila mereka mampu makan makanan dengan tingkat kepedasan yang sangat tinggi.
Bisnis kuliner pun menjadikan sambal khas atau tingkat kepedasan yang ekstrim sebagai selling point-nya. Beberapa tayangan iklan makanan di televisi terlihat menonjolkan ciri kepedasannya.
Jadi, jika ditanyakan apakah tingkat konsumsi cabai masyarakat Indonesia bisa diturunkan, ini bukan pertanyaan yang gampang untuk dijawab.
Masalahnya, sambal sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat. Makanya, sulit memang untuk menurunkan tingkat konsumsi cabai.
Semoga produksi cabai kembali melimpah dan membuat harga cabai kembali ke harga normal. Ini dimungkinkan terjadi jika musim hujan segera datang.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H