Bukankah emak-emak itu takut diomelin suaminya bila masakannya tidak memenuhi tingkat kepedasan yang disukai suami dan anak-anaknya di rumah?
Ya, bisa saja emak-emak itu beradu argumen dengan suaminya kenapa masakannya jadi kurang pedas, yakni dengan alasan uang belanja dari suami sudah tidak cukup lagi.
Akhirnya, gara-gara harga cabai yang naik, suami istri bisa ribut bersitegang urat leher.
Orang Indonesia sepertinya tak berselera makan nasi kalau lauknya tidak ada unsur pedasnya atau kalau tidak ada sambalnya.
Dulu, hanya beberapa daerah tertentu saja yang terkenal dengan makanan tradisionalnya yang pedas karena mengandung banyak cabai, seperti masakan Padang.
Tapi, belakangan ini, semua daerah seperti berlomba-lomba menyajikan makanan pedas. Bahkan, masakan Sunda yang terkenal manis pun menyediakan berbagai jenis sambal.
Jadilah sambal merupakan yang wajib ada, termasuk sambal dalam kemasan yang disediakan banyak gerai makanan cepat saji.
Hebatnya, anak muda zaman sekarang, meskipun menggemari makanan asing, tetap menyukai rasa pedas. Padahal, makanan asing tersebut di negara asalnya tidak diberi sambal.
Ada semacam kebanggaan bagi anak-anak muda bila mereka mampu makan makanan dengan tingkat kepedasan yang sangat tinggi.
Bisnis kuliner pun menjadikan sambal khas atau tingkat kepedasan yang ekstrim sebagai selling point-nya. Beberapa tayangan iklan makanan di televisi terlihat menonjolkan ciri kepedasannya.
Jadi, jika ditanyakan apakah tingkat konsumsi cabai masyarakat Indonesia bisa diturunkan, ini bukan pertanyaan yang gampang untuk dijawab.