Kata orang, di saat kita memasuki bulan yang berakhiran dengan "ber", hal itu disebut identik dengan "ember" yang diperlukan untuk menampung air hujan.
Jadi, begitu memasuki bulan September, maka musim kemarau berakhir dan berganti dengan musim hujan. Intensitas hujan bahkan semakin meningkat di sekitar bulan Desember.
Ya, dulu memang seperti itu yang dialami orang tua kita, sehingga muncul anggapan adanya hubungan nama bulan yang kebetulan berakhiran "ber" dengan hujan.
Tapi, sejak beberapa tahun terakhir ini, terjadi perubahan iklim secara global. Akibatnya, kedatangan musim hujan tak lagi mengikuti pakem di masa lalu.
Buktinya, bagi mereka yang tinggal di Jakarta, tentu merasakan tersiksanya dengan suhu panas yang sangat menggigit yang berlangsung hingga sekarang ini.
Padahal, saat ini sudah di akhir bulan Oktober dan bulan November sudah di depan mata.
Memang, musim hujan pun belum tentu nyaman bagi warga Jakarta, karena di beberapa kawasan tertentu biasanya sangat gampang terjadi banjir.
Namun, karena kemarau kali ini betul-betul sangat panjang yang memicu kekeringan dan suhu amat panas, banyak orang yang tak sabar lagi menunggu datangnya musim hujan.
Di sebagian daerah di negara kita, terutama di belahan utara, dikabarkan sudah memasuki musim hujan. Tapi, untuk belahan selatan, termasuk Jakarta, diperkirakan akan hujan November mendatang.
Perkiraan tersebut berasal dari lembaga yang berwenang, yakni Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), seperti yang diberitakan republika.co.id (4/10/2023).
Di antara banyak orang yang berdoa untuk minta turun hujan (banyak pula yang melakukan salat berjamaah dengan niat khusus minta hujan), ternyata ada orang yang doanya berbeda.
Siapa yang berbahagia di musim kemarau panjang? Siapa lagi kalau bukan tukang gali sumur atau tukang sumur bor.
Sebagian rumah tangga yang tinggal di Jakarta atau kota-kota lainnya sudah menjadi pelanggan perusahaan air minum yang mengalirkan air bersih memakai pipa.
Namun, kualitas air dan konsistensi mengalirnya air dari perusahaan tersebut dirasakan sebagian pelanggan belum memuaskan.
Lagipula, cakupan air pipa yang dilayani perusahaan pengelola air bersih belum mampu menjangkau seluruh rumah tangga yang ada di satu kota.
Makanya, di Jakarta masih cukup banyak rumah tangga yang mengandalkan sumur bor dan menggunakan mesin pompa air.
Nah, masalahnya, di saat kemarau berkepanjangan bisa menyebabkan air sumur kehabisan. Solusinya, sumur harus diperdalam atau membuat sumur bor baru.
Maka, sekarang ini betul-betul menjadi masa panen  bagi tukang sumur. Order melimpah, bahkan banyak yang harus ditolak karena tak tertangani lagi.
Upah tukang sumur pun jadi ikut melonjak karena saking banyaknya pesanan yang minta didahulukan dan berani membayar mahal.
Bagi mereka yang bermaksud menggunakan jasa ahli sumur bor, perlu diingatkan untuk tidak asal ngebor. Sekarang, membor sumur untuk mendapatka air tanah tak boleh sembarangan.
Ada aturan baru dari pemerintah tentang izin air tanah. Untuk penggunaan air tanah lebih dari 100 ribu liter per bulan harus mengurus izin ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Aturan tersebut bisa jadi dipersepsikan masyarakat sebagai mempersulit atau terlalu birokratis. Kok sedikit-sedikit harus minta izin ke pemerintah?
Tapi, bagi rumah tangga yang terdiri dari suami istri dan 3 anak, yang mengonsumsi air secara normal (tidak boros), rasanya tidak bakal sampai 100 ribu liter per bulan.
Yang disasar pemerintah adalah rumah luas dan mewah, gedung-gedung, dan tempat usaha atau industri, demi konservasi air.Â
Jangan sampai orang kaya seenaknya mengonsumsi air secara berlebihan, di lain pihak warga kurang mampu tak punya sumber air.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H