Tulisan Kompasianer Patter (saya biasa memanggilnya Mbak Celestine) tentang aturan breakfast di hotel (Kompasiana, 6/10/2023) sangat menarik bagi saya.
Dari berbagai aturan yang ditulis Patter tersebut, menurut pengamatan saya, ada dua hal yang relatif sering dilanggar para tamu hotel yang lagi sarapan.
Pertama, tamu yang cenderung menjajal hampir semua jenis makanan yang disajikan. Tapi, karena kapasitas perut yang terbatas, tamu itu sengaja menyisakan makanan di piring.
Hal ini jelas tidak saja merugikan pengelola hotel, tapi juga mencerminkan perilaku yang tidak baik.Â
Bervariasinya jenis makanan di hotel yang tak perlu dibayar lagi (karena telah menyatu dengan tarif kamar hotel), membuat sebagian tamu terkesan seperti menerapkan sikap "aji mumpung".
Ya, mumpung tidak membayar, mereka jadi gelap mata dan cenderung rakus. Kalau mereka mampu menghabiskan makanan, masih lumayan.
Tapi, sengaja menyisakan makanan yang nantinya akan terbuang ke tong sampah, merupakan contoh perbuatan yang tidak bertanggungjawab.
Kedua, tamu yang berbekal tas besar, memasukkan kue kering ke dalam tasnya, tentu setelah terlebih dahulu dibungkus pakai tisu.
Mohon maaf, tanpa bermaksud bias gender, biasanya ada sebagian emak-emak yang begitu kreatif dengan keberhasilan membawa makanan ke luar ruangan breakfast.
Modusnya, emak-emak kreatif itu membawa banyak makanan dalam piring ke meja makannya. Jika situasi "aman terkendali", sebagian makanan disalin ke tisu dan dimasukkan ke dalam tas.
Bahkan, bagi si pelaku yang berpergian dalam satu grup, terkadang mereka berbagi tugas, sehingga jelas siapa yang "nyolong" kue apa.Â
Nanti, saat mereka jalan-jalan dan kelaparan, mereka pun menggelar hasil colongannya dengan ekspresi penuh kebanggaan, seakan-akan hal itu sebuah prestasi.
Kebetulan, sekitar dari tahun 2000 hingga 2018, saya sering berkunjung ke berbagai kota di dalam negeri (sesekali juga ke luar negeri), dalam rangka melaksanakan tugas di sebuah perusahaan.
Tentu saja, di kota-kota tersebut saya mendapat jatah atas nama biaya dinas untuk menginap di hotel yang representatif.Â
Nah, ketika sarapan di berbagai hotel berbintang itu, diam-diam saya sering menyaksikan tingkah para tamu. Makanya saya menyimpulkan sering terjadinya dua hal di atas.
Selain itu, untuk masalah makanan yang sengaja tak dihabiskan, sering pula saya lihat di acara resepsi pernikahan.
Ironis sekali rasanya, tamu yang datang belakangan tidak kebagian makanan, sementara di piring kotor terlihat banyak makanan bersisa.
Hanya saja, kalau di acara resepsi pernikahan, saya jarang yang melihat tamu yang berani mengambil makanan untuk dibawa pulang, mungkin malu terlihat sama tamu lain yang lagi antre.
Nafsu makan memang dipunyai oleh semua manusia, tapi nafsu makan perlu dikendalikan. Ini tidak saja berhubungan dengan etika sosial, tapi juga demi kesehatan secara pribadi.
Makan secara berlebihan sama saja dengan mengundang datangnya penyakit ke dalam tubuh.
Jadi, orang yang rakus dengan makanan boleh dikatakan sebagai berbuat dosa terhadap perutnya sendiri tanpa disadarinya.
Sedangkan mereka yang sering menyisakan makanan, dosanya tak kalah banyak. Yang pasti, makanan itu seharusnya menjadi hak orang lain.
Selain itu, mereka juga berdosa pada petani yang menjadi asal muasal produksi makanan. Bukankah orang tua kita mengatakan nasi akan "menangis" kalau dibiarkan bersisa.
Kemudian, karena akhirnya makanan itu menjadi sampah, ini juga dosa terhadap lingkungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H