Pagi ini, Jumat (6/10/2023) saya sengaja berjalan kaki menyusuri beberapa ruas jalan di sekitar rumah saya di Kawasan Tebet, Jakarta Selatan.
Mengingat udara Jakarta tidak sedang baik-baik saja, saya tetap memakai masker. Seperti diketahui, Jakarta ditasbihkan sebagai kota terpolusi di dunia. Ngeri, bukan?
Adapun tujuan saya melangkahkan kaki berjalan-jalan sebetulnya sekadar mencari keringat saja. Polusi bukan alasan untuk tidak berolahraga.
Nah, ketika melewati suatu rumah, saya melihat pagarnya terbuka dan ada keramaian di situ, semacam antrean yang tidak begitu teratur.
Ternyata, tuan rumahnya sedang membagi-bagikan nasi kotak, di mana kotaknya berupa styrofoam serta pakai plastik untuk menentengnya.
Satu orang ada yang membawa satu kotak, tapi ada juga yang membawa beberapa kotak, mungkin dengan alasan untuk anak istrinya di rumah.
O ya, saya sadar, ini kan hari Jumat pagi. Ya, inilah yang saya duga sebagai wujud dari acara atau program "Jumat berkah".
Tentu saja, perbuatan tuan rumah acara Jumat berkah itu sangat mulia dan insya Allah besar pahalanya dari Allah swt.
Bagi si penerima nasi kotak pun, jelas apa yang didapatnya sangat berarti, karena rata-rata mereka memang tergolong warga yang kurang mampu.
Saya jadi ingat, ada beberapa tempat dalam radius 1 kilometer dari rumah saya yang menyelenggarakan acara Jumat berkah, semuanya dalam bentuk bagi-bagi nasi.
Satu di antaranya, dilakukan oleh fungsionaris partai politik tertentu, sehingga di tenda tempat pembagian nasi kotak, ada baliho kampanye.
Kemudian juga ada yang dilakukan oleh seorang pedagang grosir yang kaya raya. Waktunya sama-sama pada Jumat pagi.
Ada lagi yang dilakukan oleh panitia masjid tempat saya sering melaksanakan salat Jumat, yang pembagian nasi kotaknya dilakukan sehabis salat Jumat.
Yang di masjid ini nasi kotaknya berbeda-beda karena tergantung pada sumbangan yang diberikan jemaah.
Jemaah A misalnya membeli nasi Padang 30 kotak dan diserahkan ke pengurus masjid sebelum salat Jumat. Lalu, jemaah B mungkin membeli dari restoran yang lain sejumlah 40 kotak.
Saya juga sering melihat konten di media sosial yang menayangkan beberapa warung makan yang sengaja menyediakan makan gratis setiap hari Jumat.
Demikianlah, menurut saya ini tren positif, banyak orang yang berlomba-lomba berbuat kebaikan bertajuk program Jumat Berkah.
Hanya saja, terpikir oleh saya, betapa melimpahnya nasi kotak Jumat berkah, karena itu tadi, ada banyak lokasi yang berdekatan yang melakukannya.
Satu orang bisa saja mendatangi semua tempat itu, sehingga ia membawa beberapa kotak nasi di waktu yang sama.
Tapi, bukankah ia tak mampu menghabiskan nasi yang banyak itu hanya di sepanjang hari Jumat?Â
Jika disimpannya di kulkas agar besoknya bisa dipanaskan dan masih layak untuk dimakan, tentu kurang praktis. Lagipula belum tentu ia punya kulkas.
Mungkinkah program Jumat berkah tidak semuanya berupa nasi kotak? Mana tau ada yang tergerak hatinya membagi-bagi dalam bentuk "mentah" (beras atau uang).
Dengan uang yang katakanlah masing-masing orang kebagian Rp 50.000, rasanya akan bermanfaat besar. Bisa untuk membeli obat, atau membeli kebutuhan yang lain.
Terhadap antusiasme sebagian masyarakat yang merasa terpanggil untuk berbagi melalui program Jumat berkah, tentu harus disambut baik.
Namun, dengan mempertimbangkan asas manfaat dan agar tidak menimbulkan kemubaziran, akan lebih baik bila Jumat berkah tidak selalu berarti bagi-bagi nasi kotak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H