Berita tentang sepinya Pasar Tanah Abang karena diduga kalah bersaing dengan para artis yang berjualan secara live di aplikasi media sosial tertentu, mendapat perhatian khusus dari pemerintah.
Pemerintah akhirnya menata ulang pengaturan yang terkait dengan perdagangan elektronik, yang harus dilakukan secara terpisah dari fungsi media sosial.
Sebetulnya, pedagang di Tanah Abang juga sudah mencoba berjualan secara online, bahkan ikut-ikutan melakukan siaran live di media sosial.
Tapi, bersaing dengan para artis kondang yang pengikutnya jutaan orang itu, tentu saja sangat berat bagi para pedagang.
Tak hanya itu, para pedagang beneran itu takluk karena harga jual melalui media sosial itu sangat murah, terkesan tidak masuk akal, yang disebut sebagai strategi predatory pricing.
Predatory pricing adalah strategi penetapan harga jual produk atau jasa yang sangat murah, jauh di bawah biaya produksinya, yang sengaja dilakukan oleh sebuah perusahaan atau pelaku usaha.
Strategi yang disebut juga "bakar uang" di atas makin marak setelah menjamurnya penjualan melalui aplikasi media sosial dan melalui marketplace.
Tujuannya untuk memukul para pesaing. Setelah para pesaing tersungkur, kemudian harga akan dinaikkan menjadi harga normal.
Bahkan, harga bisa naik tajam ketika akhirnya hanya tinggal satu perusahaan saja yang menjual, sehingga akan memonopoli pasar.
Konsumen yang awalnya sangat diuntungkan, pada akhirnya akan dirugikan. Jadi, jangan mengira hanya pelaku UMKM yang dirugikan.
Jauh sebelum heboh-heboh berita sepinya Pasar Tanah Abang, Presiden Joko Widodo sudah menyampaikan peringatan agar berhati-hati dengan praktik predatory pricing.
Berbicara saat memberikan pengarahan dalam Rapat Kerja Nasional XVII Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Tahun 2021, Presiden Jokowi mengatakan praktik itu tak boleh eksis di Indonesia.
"Sekarang ini banyak praktik predatory pricing. Hati-hati dengan ini. Bisa membunuh yang kecil-kecil itu," kata Jokowi seperti diberitakan oleh cnbcindonesia.com (5/3/2021).
Ternyata apa yang dikatakan Presiden Jokowi itu terbukti betul, karena sudah banyak kios yang tutup di Tanah Abang, akibat kebangkrutan yang dialami pemiliknya.
Tidak berlebihan bila disebutkan bahwa praktik predatory pricing itu merusak sistem harga di pasar dan membawa bencana perekonomian nasional.
Memang, seperti disinggung di atas, konsumen akan diuntungkan dengan predatory pricing. Tapi, para produsen lainnya yang menjadi pesaing akan buntung.
Lalu, pelaku usaha akan banyak yang berhenti beroperasi. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akan membludak, dan menjadi beban yang berat bagi pemerintah dan masyarakat.
Perlu diketahui, secara ketentuan perundang-undangan yang berlaku di negara kita, sebetulnya sudah jelas melarang munculnya persaingan usaha yang tidak sehat.
Jadi, predatory pricing itu bisa dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Dalam UU tersebut ditegaskan bahwa pengusaha dilarang menetapkan harga sangat rendah dengan tujuan untuk menyingkirkan pesaing.
Kenapa para pelaku predatory pricing itu belum terdengar ada yang diproses secara hukum? Apakah aparat hukum mengalami kesulitan dalam mencari bukti pelanggaran hukum?
Mungkin memang ada kesulitan untuk menindak pelaku predatory pricing. Atau, pemerintah masih mengutamakan tindakan yang bersifat persuasif.
Masalah perdagangan di marketplace dan di aplikasi media sosial menjadi lebih pelik, karena strategi "bakar uang" bisa berlangsung dalam jangka waktu yang relatif lama.
Apakah si pembakar uang dalam jangka panjang itu tidak rugi besar? Bukankah tak ada pengelola usaha, termasuk investor yang memodalinya, yang mau rugi?
Nah, inilah yang perlu didalami. Siapa tahu, ada keuntungan lain yang diincar pengelola aplikasi media sosial atau pengelola marketplace.
Aplikasi yang digunakan oleh puluhan juta orang, mungkin punya keuntungan dalam bentuk lain. Contohnya, "big data" yang dihimpunnya diduga nilainya mahal.
Apalagi, bila iklan banyak mendompleng di berbagai aplikasi yang sangat banyak penggunanya, jelas bisa mengkompensasi kerugian dari praktik predatory pricing.
Ya, masih banyak PR bagi pemerintah, bukan sekadar menerbitkan larangan mencampuradukkan fungsi media sosial dan fingsi e-commerce.
Semoga pelaku perdagangan online dan pedagang konvensional sama-sama berkembang, yang satu tidak membunuh yang lain.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI