Mungkin memang ada kesulitan untuk menindak pelaku predatory pricing. Atau, pemerintah masih mengutamakan tindakan yang bersifat persuasif.
Masalah perdagangan di marketplace dan di aplikasi media sosial menjadi lebih pelik, karena strategi "bakar uang" bisa berlangsung dalam jangka waktu yang relatif lama.
Apakah si pembakar uang dalam jangka panjang itu tidak rugi besar? Bukankah tak ada pengelola usaha, termasuk investor yang memodalinya, yang mau rugi?
Nah, inilah yang perlu didalami. Siapa tahu, ada keuntungan lain yang diincar pengelola aplikasi media sosial atau pengelola marketplace.
Aplikasi yang digunakan oleh puluhan juta orang, mungkin punya keuntungan dalam bentuk lain. Contohnya, "big data" yang dihimpunnya diduga nilainya mahal.
Apalagi, bila iklan banyak mendompleng di berbagai aplikasi yang sangat banyak penggunanya, jelas bisa mengkompensasi kerugian dari praktik predatory pricing.
Ya, masih banyak PR bagi pemerintah, bukan sekadar menerbitkan larangan mencampuradukkan fungsi media sosial dan fingsi e-commerce.
Semoga pelaku perdagangan online dan pedagang konvensional sama-sama berkembang, yang satu tidak membunuh yang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H