Jauh sebelum heboh-heboh berita sepinya Pasar Tanah Abang, Presiden Joko Widodo sudah menyampaikan peringatan agar berhati-hati dengan praktik predatory pricing.
Berbicara saat memberikan pengarahan dalam Rapat Kerja Nasional XVII Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Tahun 2021, Presiden Jokowi mengatakan praktik itu tak boleh eksis di Indonesia.
"Sekarang ini banyak praktik predatory pricing. Hati-hati dengan ini. Bisa membunuh yang kecil-kecil itu," kata Jokowi seperti diberitakan oleh cnbcindonesia.com (5/3/2021).
Ternyata apa yang dikatakan Presiden Jokowi itu terbukti betul, karena sudah banyak kios yang tutup di Tanah Abang, akibat kebangkrutan yang dialami pemiliknya.
Tidak berlebihan bila disebutkan bahwa praktik predatory pricing itu merusak sistem harga di pasar dan membawa bencana perekonomian nasional.Â
Memang, seperti disinggung di atas, konsumen akan diuntungkan dengan predatory pricing. Tapi, para produsen lainnya yang menjadi pesaing akan buntung.
Lalu, pelaku usaha akan banyak yang berhenti beroperasi. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akan membludak, dan menjadi beban yang berat bagi pemerintah dan masyarakat.
Perlu diketahui, secara ketentuan perundang-undangan yang berlaku di negara kita, sebetulnya sudah jelas melarang munculnya persaingan usaha yang tidak sehat.
Jadi, predatory pricing itu bisa dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun  1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Dalam UU tersebut ditegaskan bahwa pengusaha dilarang menetapkan harga sangat rendah dengan tujuan untuk menyingkirkan pesaing.
Kenapa para pelaku predatory pricing itu belum terdengar ada yang diproses secara hukum? Apakah aparat hukum mengalami kesulitan dalam mencari bukti pelanggaran hukum?