Kebetulan kendaraan saya menggunakan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax. Tentu, pergerakan harga Pertamax menjadi perhatian saya.
Dibandingkan harga BBM yang disubsidi pemerintah seperti Pertalite, harga Pertamax jelas lebih mahal. Namun, ada jenis yang lebih mahal lagi seperti Pertamax Turbo.
Sebetulnya, jika ingin menghemat biaya, pilihannya adalah menggunkan Pertalite. Lagipula, harga Pertalite karena disubsidi itu tadi, jarang mengalami perubahan.
Sayangnya, Pertalite ini suplainya agak terbatas. Akibatnya, tak jarang kosong stoknya di berbagai Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU).
Adapun untuk BBM yang tidak disubsidi, harganya fluktuatif (sering berubah) mengikuti harga minyak di pasar internasional.Â
Pertamina punya kebijakan untuk mengevaluasi harga BBM non subsidi setiap awal bulan. Jadi, setiap tanggal 1 bisa saja harga berubah, meskipun tidak selalu begitu.
Berikut ini saya paparkan pergerakan harga Pertamax sepanjang tahun 2023, yakni dari Januari hingga awal Oktober 2023.
Memasuki tahun baru 2023, saya gembira dengan penurunan harga Pertamax di DKI Jakarta, yakni dari Rp 13.900 pada Desember 2022, menjadi Rp 12.800 terhitung mulai 3 Januari 2023.
Berikutnya, per 1 Maret 2023 Pertamina kembali menaikkan harga Pertamax menjadi Rp 13.300. Jadi, harga Rp 12.800 hanya bertahan selama 2 bulan.
Saya kembali bergembira, setelah 3 bulan bertahan di harga Rp 13.300, per 1 Juni 2023 Pertamax menyentuh harga terendah, yakni Rp 12.400.
Namun, kegembiraan itu hanya bertahan 3 bulan, karena per 1 September 2023, harga Pertamax kembali ke Rp 13.300.
Celakanya lagi, 1 bulan kemudian, yakni yang baru saja terjadi per 1 Oktober 2023, harga Pertamax melambung lagi menjadi Rp 14.000.
Artinya, setelah sejak Januari 2023 hingga September 2023 harga Pertamax masih bergerak di angka Rp 12.000-an hingga Rp 13.000-an, sekarang menyentuh Rp 14.000-an.
Meskipun harga BBM bersubsidi tidak dinaikkan, tapi mengingat besarnya konsumsi BBM non subsidi, kenaikan harganya jelas berdampak kepada berbagai hal.
Pertama, karena BBM berkaitan dengan hampir semua aspek kehidupan, terutama dalam industri logistik dan transportasi, maka diperkirakan harga berbagai barang dan jasa akan ikut naik.
Kedua, dengan demikian dampak berikutnya adalah meningkatnya biaya hidup dan menurunnya daya beli masyarakat.
Ketiga, jika kenaikan harga barang dan jasa tersebut berlangsung terus menerus dalam jangka waktu tertentu, maka kondisi ini disebut dengan inflasi yang membuat nilai uang menurun.
Keempat, usaha mikro dan kecil akan terpukul karena beban produksi yang meningkat, padahal modalnya terbatas. Usaha kecil tidak gampang menaikkan harga, karena konsumennya warga kelas bawah.
Kelima, jika usaha kecil banyak yang bangkrut tentu akan menambah jumlah pengangguran. Bahkan, jika sektor industri juga terpukul, pekerja yang terkena PHK akan bertambah.
Keenam, mengingat sekarang lagi dalam "tahun politik", kondisi tersebut di atas bisa "digoreng", sehingga sedikit banyaknya akan meresahkan sebagian masyarakat.
Menghadapi berbagai dampak negatif di atas, langkah apa kira-kira yang bisa dilakukan masyarakat?
Pertama, sebaiknya masyarakat semakin banyak yang beralih dari menggunakan kendaraan pribadi menjadi pengguna transportasi publik.
Kedua, masyarakat diharapkan semakin banyak yang beralih menjadi pengguna mobil listrik. Caranya, bisa dengan menjual kendaraan biasa, agar punya dana membeli kendaraan listrik.
Ketiga, mengurangi konsumsi dan lebih berhemat jika harga berbagai barang dan jasa mengalami kenaikan.
Perlu diketahui, jika masyarakat beralih dari mengonsumsi BBM non subsidi ke BBM bersubsidi, ini bukan tindakan yang diharapkan.
BBM bersubsidi dimaksudkan hanya bagi warga kurang mampu dan ada persyaratan dari pemerintah untuk bisa membeli BBM bersubsidi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H