Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Saat Duit Ceban dan Predikat Jutawan Tak Jadi Kebanggaan

1 Oktober 2023   06:30 Diperbarui: 1 Oktober 2023   07:14 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi uang Rp 10.000 tahun 1985|dok. aswata.co.id

Ketika saya masih sekolah di dekade 1970-an, uang kertas yang paling besar nilainya adalah yang bernominal Rp 10.000. Istilah populernya duit ceban.

Ceban dalam bahasa yang dipakai sehari-hari oleh saudara-saudara kita yang berdarah Tionghoa artinya angka 10.000. 

Bayangkan, betapa senangnya hati saya ketika suatu kali saat mau ada acara darmawisata ke luar provinsi, saya diberi bekal oleh paman saya selembar uang Rp 10.000.

Harga sepiring soto di sekolah saya waktu itu Rp 50. Artinya, dengan uang Rp 10.000 saya bisa makan soto 200 kali. Sangat besar, bukan?

Sekarang, barangkali harga sepiring soto di kantin sekolah, paling tidak sudah Rp 10.000. Kalau soto di restoran tentu lebih mahal lagi.

Artinya, uang ceban jadul itu nilainya sekitar 200 kali uang ceban zaman sekarang. Demikian jauhnya penurunan nilai uang rupiah jika dibandingkan dengan kondisi 4 dekade yang lalu.

Jadi, jika sekarang semua orang punya uang ceban di dompetnya, itu sangat biasa. Uang ceban itu bukan dianggap uang besar, karena masih ada pecahan yang jauh lebih besar.

Namun, dulu, mereka yang di dompetnya punya uang ceban, itu sesuatu banget, lebih hebat dari orang sekarang yang punya uang pecahan Rp 100.000.

Soalnya, seperti perbandingan sederhana di atas, yakni Rp 10.000 dulu bisa membeli 200 piring soto, sementara Rp 100.000 sekarang hanya mampu membeli 10 piring soto ala kantin sekolah.

Padahal, uang Rp 100.000 sudah pecahan terbesar saat ini. Apakah sudah saatnya dikeluarkan pecahan yang jauh lebih besar, misalnya pecahan Rp 200.000 atau bahkan Rp 500.000?

Tapi, rasa-rasanya makin ribet saja kalau uang pecahan lebih besar dari Rp 100.000 mulai beredar di masyarakat.

Yang pasti, terdapat ketidakefisienan dalam penulisan harga barang atau dalam menyusun laporan keuangan, karena jumlah digitnya terlampau banyak.

Secara psikologis, mata uang rupiah juga seakan begitu rendah gengsinya bila disandingkan dengan sejumlah mata uang asing.

Tak usah melihat uang dolar AS atau dolar Singapura. Dengan ringgit Malaysia saja, mata uang rupiah terlihat lemah sekali, di mana Rp 100.000 saat ini dihargai sekitar 30 ringgit saja.

Uang kertas ringgit Malaysia juga punya beberapa pecahan, dan yang terbesar adalah RM 100 (seratus ringgit Malaysia).

Jelaslah, seseorang yang disebut jutawan di Malaysia, itu artinya punya kekayaan dalam nilai jutaan ringgit atau di atas 3 miliar rupiah.

Namun, di Indonesia predikat jutawan hanya cocok diberikan kepada orang kaya jadul, yakni orang kaya pada 4 atau 5 dekade yang lalu.

Adapun untuk sekarang ini, predikat jutawan itu sudah tidak relevan lagi, karena semua orang  bisa disebut jutawan.

Bukankah Upah Minimum Provinsi (UMP) di daerah yang termurah pun, sudah di atas Rp 1 juta. Justru, bergaji Rp 1 juta sebulan, hanya cukup untuk hidup seminggu.

Ketika tahun 70-an itu, seorang jutawan memang orang yang kaya raya, karena gaji PNS yang sudah senior pun baru puluhan ribu rupiah per bulan.

Julukan bagi orang kaya di zaman sekarang, yang lebih tepat adalah miliarder. Meskipun sebetulnya, bila punya aset mentok di Rp 1 milyar, masih tergolong biasa saja.

Kalau punya aset sudah belasan miliar rupiah, baru kelasnya masuk kelompok orang kaya, walaupun belum sekelas crazy rich. 

Begitulah, karena terkikis inflasi, nilai rupiah mengalami penurunan yang teramat dalam, jika dibandingkan dengan puluhan tahun lalu.

Barangkali wacana redenominasi rupiah yang dulu sempat bergaung, sudah saatnya untuk betul-betul direalisasikan.

Perlu diketahui, redominasi ini bukanlah pemotongan nilai uang. Definisi redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya.

Caranya dengan mengurangi jumlah digit dalam mata uang rupiah. Misalnya uang Rp 20.000 sekarang ini diubah menjadi Rp 20.

Adapun daya belinya tak berubah. Jika sebelumnya dengan uang Rp 20.000 dapat membeli sebungkus nasi Padang, maka setelah redenominasi, sebungkus nasi Padang dihargai Rp 20.

Kalau hal itu terjadi, punya duit ceban dan diberi julukan sebagai jutawan akan kembali menjadi kebanggaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun