Sebagai pengganti berita dari media cetak, melalui mesin pencari seperti yang disediakan Google, apa saja berita yang dikehendaki, tinggal diketik saja.
Dengan sistem algoritma, seseorang yang menyukai berita sepak bola akan selalu disuguhi berita sepak bola terkini, tanpa perlu mengetikkan apa-apa.
Sedangkan sebagai pengganti televisi, anak muda saat ini sudah beralih menikmati video streaming di media sosial.Â
Jelaslah, dikaitkan dengan pekerjaan jurnalistik, wartawan yang dulu tanpa saingan, sekarang dikepung oleh para pembuat konten.
Tanpa perlu ujian kompetensi wartawan, hanya dengan metode trial and error, bermunculanlah pencipta konten yang banyak sekali penggemarnya.
Jangan heran, content creator yang usianya masih 20-an tahun, bisa dapat cuan yang jauh melebihi gaji pemimpin redaksi di media cetak nasional.
Apakah kondisi seperti itu bisa disebut adil atau tidak, tergantung persepsi kita masing-masing.
Tapi, saat ini pemerintah berupaya membuat kebijakan yang rancangannya cukup ramai dibahas di media massa dan media sosial.
Rancangan kebijakan dimaksud berupa Peraturan Presiden (Perpres) tentang "Tanggung Jawab Platform Digital untuk Jurnalisme Berkualitas".
Perpres Jurnalisme Berkualitas tersebut pada dasarnya mengatur publisher rights, yakni semacam royalti atas konten-konten media massa yang diambil dan disebarkan oleh platform digital.
Seperti diketahui, Google News dan Yahoo News adalah contoh platform digital yang mengambil konten media, yang selama ini tidak diatur sistem bagi hasilnya.