Tapi, harus diakui, Golkar bukan lagi penentu arah politik di negara kita. Artinya, Golkar bukan aktor utama, namun menjadi aktor pendukung yang diperebutkan.Â
Ironisnya, sekarang terbentuk 3 poros yang jadi penentu, dan salah satunya adalah poros yang dikomandoi oleh Partai Gerindra.
Padahal, Gerindra bisa disebut sebagai "anak" yang dilahirkan Golkar, seperti juga Nasdem dan Hanura yang juga "anak" Golkar.
Hal itu karena beberapa tokoh Golkar merasa kecewa dan membentuk partai baru, sehingga lahirlah partai-partai "anak" itu tadi.
Maka, Golkar sekarang ibarat induk yang dilangkahi anaknya, karena Gerindra sudah menjadi penentu yang mengusung Prabowo Subianto sebagai capres.
Selain Gerindra, 2 poros lainnya adalah poros yang dibentuk Nasdem dengan capresnya Anies Baswedan dan poros PDIP dengan capres Ganjar Pranowo.
Jusuf Kalla (JK), mantan dua kali wakil presiden dan mantan ketua umum di partai berlambang pohon beringin itu, terang benderang mendukung Anies Baswedan.
Tapi, JK pun realistis dengan mengatakan bagi Golkar sebagai institusi tak mungkin mendukung Anies. Barangkali karena Anies disebut media massa sebagai antitesis Jokowi.
JK memang terkenal dengan kecepatannya dalam mengambil keputusan yang strategis. Berbeda dengan ketua umum Golkar saat ini, Airlangga Hartarto yang terkesan lamban.
Lambatnya Golkar mengambil keputusan mungkin karena menunggu "arahan" Â Jokowi. Padahal, Golkar seharusnya berani mengambil keputusan sendiri.
Makanya, kader Golkar yang tidak sabar dengan gaya kepemimpinan Airlangga, sebagian mencetuskan untuk mengganti Airlangga melalui forum Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub).