Tidak hanya KPK, insatansi lain juga berkewajiban mengawasi penggunaan anggaran, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Belum lagi jika tercium sesuatu, aparat kepolisian dan kejaksaan berwenang untuk menyelidiki suatu kasus lebih dalam.
Akibat keengganan dan kekhawatiran berlebihan itu, Â membuat lambatnya proses pengambilan keputusan yang terkait dengan realisasi anggaran.
Sementara itu, berita semakin banyaknya kepala daerah yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK, semakin menciutkan nyali para pengambil keputusan.
Barangkali dibutuhkan langkah terobosan sebagai solusinya. Misalnya menguji kembali semua tahapan dalam prosedur pengadaan barang dan tender proyek pembangunan.
Demikian pula terhadap prosedur penggunaan anggaran lainnya. Dalam hal ini, jika ada ketentuan yang multi tafsir dan kemungkinan bisa "menjebak", perlu dikoreksi.
Untuk mengoreksinya, perlu minta advis ke KPK atau instansi hukum lain, sehingga tak terjadi lagi multi tafsir.
Yang sangat penting sebetulnya menyangkut integritas pejabat. Sepanjang sudah mematuhi semua ketentuan dan tak tergoda untuk "bermain", tak perlu takut menggunakan anggaran.
Namun demikian, serapan APBD yang rendah, dilihat dari sisi lain, ternyata ada berkahnya.
Perlu diingat, sisa APBD yang belum terserap, dananya akan mengendap di bank milik daerah. Inilah yang ada "berkah" karena pemda sebagai pemilik dana akan memperoleh bunga simpanan.
Adapun bagi bank daerah, dana tersebut juga menguntungkan, karena menjadi sumber dana murah bagi bank.