Salah satu orangtua korban, Euis (46 tahun) mengaku hanya pasrah saat anaknya tak bisa membeli baju seragam dan buku tulis.
Anaknya Euis tersebut duduk di kelas 2, dan uang tabungannya selama kelas 1 berjumlah Rp 600.000, yang diniatkan untuk membeli kebutuhan sekolah saat naik kelas.
Mantan kepala sekolah itu beberapa hari kemudian muncul dalam pemberitaan salah satu stasiun televisi. Ia mengaku tidak kabur.
Uang tabungan para muridnya diakui terpakai oleh sang mantan kepala sekolah, dengan alasan lagi ditimpa musibah.
Sekarang ia lagi mengumpulkan uang dengan harapan nantinya akan dikembalikan kepada masing-masing murid yang sebelumnya menabung.
Masih soal tabungan murid yang bermasalah, di Pangandaran yang juga termasuk dalam provinsi Jawa Barat, ada kasus serupa meskipun tak persis sama dengan yang di Tasikmalaya.
Modus di Pangandaran adalah dengan menempatkan tabungan murid di koperasi, lalu guru meminjam dari koperasi tersebut.
Kasus tersebut terjadi di sejumlah SD di Kecamatan Cijulang dan Parigi. Adapun jumlah tabungan yang belum dikembalikan pihak sekolah mencapai Rp 7,47 miliar (Kompas.com, 22/6/2023).
Memang, soal kesejahteraan guru, meskipun semakin membaik, namum belum mencapai kondisi ideal. Bahkan, kalau mencermati nasib guru yang bukan ASN, cukup menyedihkan.
Namun, tindakan sebagian guru memanfaatkan tabungan murid-muridnya sendiri untuk keuntungan pribadi, jelas langkah yang sangat keliru.
Tak bisa lain, para orang tua murid perlu untuk selalu waspada bila ada program menabung di sekolah yang dikelola oleh guru setempat.