Pindah kewarganegaraan dari Warga Negara Indonesia (WNI) menjadi warga negara asing, sebetulnya sudah banyak terjadi sejak puluhan tahun lalu.
Namun, kepindahan sekitar 1.000 orang WNI jadi WN Singapura setiap tahun, yang diungkapkan oleh Dirjen Imigrasi Silmy Karim baru-baru ini, cukup menyita perhatian.
Sebelumnya, ada infografis dari tirto.id, yang memaparkan bahwa Indonesia menyumbang naturalisasi sebanyak 38.024 orang di Malaysia. Artinya mereka pindah dari WNI jadi WN Malaysia.
Malaysia dan Singapura adalah negara tetangga yang gampang dijangkau dari tanah air. Bahkan, kedua negara itu bisa disebut satu rumpun dengan Indonesia.
Maksudnya, satu rumpun sebagai sesama bangsa Melayu dan bisa pula disebut sebagai nusantara dalam arti luas.
Untuk kasus kepindahan jadi WN Malaysia, kebanyakan terjadi di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, yang daratannya berbatasan dengan negara bagian Sabah dan Sarawak di Malaysia.
Kesejahteraan pemegang identity card Malaysia yang lebih baik ketimbang WNI, seperti adanya bantuan uang buat lansia dan pelajar, menjadi daya tarik bagi WNI untuk jadi WN Malaysia.
Jadi, fenomena kepindahan WNI jadi WNA bisa juga dinilai sebagai hal yang tak terhindarkan, meskipun semua pihak di tanah air sebaiknya berupaya untuk mengurangi laju kepindahan WNI.
Jangankan jadi WN Malaysia atau Singapura, WNI yang pindah jadi WN salah satu negara di Amerika atau Eropa saja, tidak sedikit.
Apakah dengan kepindahan itu mereka sudah tak mencintai lagi tanah kelahirannya? Apakah mereka layak disebut anak durhaka?
Kita tak perlu terburu-buru menghakimi mereka. Soalnya, tak sedikit WNI yang sudah berganti paspor tetap menunjukkan rasa cintanya buat Indonesia.
Jika dicermati, alasan kepindahan mereka sangat rasional, yakni demi pengembangan karier mereka dengan imbalan gaji yang jauh di atas Indonesia.
Singapura punya sistem transportasi publik yang baik, lingkungan bersih dan aman, dan pendidikan untuk anak-anak yang lebih baik, tentu menjadi keuntungan untuk jadi WN Singapura.
Sedangkan kerugiannya, tidak bisa punya properti atas nama sendiri di Indonesia. Namun, hal ini bisa disiasati jika punya saudara yang bisa dipercaya di Indonesia.
Sedangkan soal kerinduan untuk berkunjung ke kampung halaman, tidak ada masalah, meskipun datang sebagai orang yang berpaspor Singapura.
Tapi, kalau boleh sedikit skeptis, tulisan ini ingin mengingatkan dampak negatif secara umum yang mesti dihadapi oleh pemerintah atau lembaga terkait di Indonesia di masa depan.
Sesuatu yang dikhawatirkan adalah kalau fenomena di atas berlanjut menjadi brain drain, di mana warga yang bertalenta, terdidik dan pintar, pindah secara massal dari suatu negara ke negara lain.
Perlu diingat, Singapura mengkhawatirkan rendahnya pertumbuhan penduduknya yang berasal dari tingkat kelahiran.
Maka, jalan pintas yang ditempuh pemerintah Singapura adalah "merayu" warga negara lain yang masih dalam usia produktif untuk jadi WN Singapura.
Yang disasarnya antara lain WNI yang menamatkan SMA di Indonesia dan lolos seleksi untuk mendapatkan beasiswa selama kuliah di Singapura.
Penerima beasiswa itu wajib bekerja paling tidak selama 3-4 tahun di perusahaan di negeri singa itu setelah menamatkan kuliahnya.
Nah, ketika mulai bekerja itulah, sebagian WNI merasa akan lebih baik nasibnya bila menjadi WN Singapura.Â
Bila mereka kembali ke Indonesia setelah wajib kerja di Singapura, mereka merasa keahliannya kurang diapresiasi di Indonesia.
Apalagi, bila mereka sudah 2 tahun menjadi permanent residence di Singapura, sudah bisa mengajukan permohonan jadi WN Singapura.
WNI yang bagus-bagus dengan keahlian khusus bisa jadi sengaja ditawari untuk jadi WNA. Sementara WNI tanpa keahlian akan dipulangkan kalau ketahuan bikin masalah.
Inilah tantangan besar untuk pemerintah, bagaimana agar mempertahankan SDM yang berkualitas, karena mereka adalah aset bangsa.
Sebaliknya, jika di dalam negeri akhirnya tersisa SDM yang kurang berkualitas, yang kalah bersaing di level internasional, tak layak disebut aset, tapi beban.
Mau tak mau, semua pihak terkait di dalam negeri perlu bahu membahu, agar kualitas SDM kita bisa ditingkatkan.
Itu saja tidak cukup, SDM yang berkualitas itu perlu disiapkan wadah bagi pengembangan kariernya, dengan tingkat kesejahteraan yang bersaing dengan negara tetangga.
Artinya, kemakmuran Indonesia harus lebih dipacu agar tak terjadi brain drain. Bagaimanapun, kepindahan WNI yang bertalenta dalam jumlah besar, akan merugikan Indonesia sebagai bangsa.