Dulu, PPDB pernah menggunakan sistem berbasis nilai ijazah, nilai rapor, atau nilai ujian nasional (UN). Nilai UN saat lulus SD digunakan untuk mendaftar masuk SMP.
Kemudian, nilai UN saat menamatkan pendidikan di bangku SMP, digunakan untuk mendatar masuk SMA.Â
Sistem nilai membuat sekolah tertentu mendapat label sekolah favorit atau unggulan, karena yang diterima hanya mereka yang pintar-pintar.
Namun, diduga tetap ada saja segelintir anak didik baru yang diterima karena nilai rapornya direkayasa. Artinya, celah untuk "bermain" tetap ada.
Rekayasa nilai tersebut tentu dilakukan oleh guru di sekolah asalnya. Bisa jadi ada gratifikasi yang diduga diterima oknum guru yang merekayasa nilai.
Selain itu, ada kebanggaan sekolah asal bila lulusannya banyak diterima si sekolah-sekolah yang tergolong favorit.
Agar menghilangkan munculnya sekolah favorit, PPDB menggunakan sistem zonasi, di mana seorang calon anak didik hanya diperkenankan mendaftar di sekolah yang sesuai zona domisilinya.
Sistem ini selain menghilangkan sekolah favorit, juga lebih hemat bagi siswa baru karena sekolahnya dekat rumah.
Baik PPDB berbasis nilai maupun zonasi, karena diproses secara computerized, maka diklaim tak akan ada kecurangan.
Tapi, bagi oknum panitia yang integritasnya rendah, selalu punya cara untuk menyiasati peraturan demi kepentingan pribadi.
Betul, PPDB pakai komputer. Namun, bukankah yang mengentri ke komputer, manusia juga?