Kebetulan saya lagi menyaksikan sebuah iklan di layar kaca. Laptop merek tertentu disebutkan oleh artis yang jadi bintang iklannya berharga Rp 9 jutaan saja.Â
Tapi, di layar kaca jelas sekali tertera bahwa harga pasnya adalah Rp 9.999.000. Menurut saya, angka sebesar itu langsung saya baca sebagai Rp 10 juta.
Ya, hanya kurang Rp 1.000 dari Rp 10 juta, masak disebutkan sebesar Rp 9 jutaan. Tapi, saya menyadari, inilah yang disebut sebagai harga psikologis.
Maksudnya, mungkin dengan angka 9 di depan, secara reflek membuat orang yang melihat harga tersebut berpikiran lebih murah ketimbang pakai angka 10.
Contoh lain terlihat pada foto di atas, yakni sebesar Rp 22.990. Padahal jelas-jelas tak ada pecahan koin Rp 10. Artinya, mau tak mau konsumen harus membayar Rp 23.000.
Begitulah berbagai trik atau gimik yang dilakukan pengelola supermarket atau toko yang menjual barang-barang tertentu dengan memakai sistem harga pas.
Dengan demikian, berapa harga yang dipasang untuk setiap barang, harus dicantumkan dan jelas terbaca oleh mereka yang akan membeli.
Jika pakai sistem tawar menawar seperti yang biasa digunakan para pedagang di pasar tradisional atau di kios di pinggir jalan, biasanya harga tak perlu ditulis di dekat barang yang dijual.
Selain pakai harga "aneh" yang ujungnya 999 seperti contoh di atas, ada lagi gimik harga untuk mempengaruhi sisi psikologis konsumen.
Misalnya, ada tulisan besar yang dipajang di depan sebuah supermarket yang berbunyi: "Diskon besar-besaran hingga 90 persen".Â
Padahal, kalau konsumen masuk ke dalam supermarket itu, rata-rata barang hanya didiskon di kisaran 10 persen sampai 20 persen.
Tapi, memang ada segelintir barang yang sudah out of date (bedakan dengan barang yang sudah expired yang tak boleh lagi dijual) yang didiskon 90 persen.
Jadi, pihak manajemen supermarket tidak bohong-bohong amat. Yang penting, kalimat bombastis di atas mampu menarik minat konsumen untuk masuk ke dalam supermarket.
Kalau sudah masuk ke dalam, meskipun mungkin kecewa, paling tidak masing-masing konsumen akan membeli satu-dua jenis barang.
Contoh lain lagi, kalimat "Beli 1 gratis 1" terasa lebih sakti ketimbang kalimat "Beli sebanyak-banyaknya, rebut hadiah utama sebuah mobil".
Undian berhadiah sekarang sudah tak terlalu menarik, karena konsumen malas menulis nama, nomor KTP dan alamat di kupon yang didapat bila membeli sesuatu.
Apalagi, isu pencurian data pribadi saat ini semakin marak. Menyalahgunakan kupon undian adalah salah satu modusnya.
Namun, kalimat "Beli 1 gratis 1" bisa ditafsirkan sebagai menerima hadiah langsung, atau bisa membuat konsumen berpikir sama dengan diskon sebesar 50 persen.Â
Bahwa ada isu pihak penjual berbohong dengan terlebih dahulu menaikkan harga barang, kemudian baru memberikan diskon, agak sulit diterima akal.
Soalnya, konsumen yang sudah berpengalaman dan berpikir kritis, gampang mencari informasi atas harga barang yang sama di tempat lain.
Jika setelah didiskon harganya tetap mahal ketimbang harga di tempat lain, jelas akan membuat konsumen tak mau membeli.
Seberapa ampuh gimik harga seperti beberapa contoh di atas dalam menggaet konsumen?
Harus diakui, bagi sebagian besar konsumen, faktor harga masih termasuk faktor penentu dalam memutuskan akan membeli barang atau tidak.
Jadi, harga yang lebih murah dengan gimik di atas rasanya masih ampuh. Tapi, jika harga mahal, meskipun diiming-imingi undian berhadiah, agaknya tidak lagi ampuh.
Memang, untuk produk tertentu yang branded, konsumen lebih mementingkan soal kualitas dan tampilan, serta mengesampingkan soal harga.
Namun, untuk barang yang diproduksi secara massal dan dijual di banyak tempat, penjual yang berani memberi harga miring akan diburu konsumen.
Biarlah keuntungan sangat tipis, tapi akan terkompensasi dengan volume penjualan yang lebih tinggi ketimbang pesaing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H