Kelola emosi anak bukan hal yang gampang bagi orang tua di zaman sekarang. Nasehat orang tua atau guru, oleh anak-anak seringkali sekadar didengar saja, tanpa dilaksanakan.
Bahkan, tak sedikit anak yang keterlaluan. Yang model begini, mendengar nasehat pun tidak mau dan malah mendebat orang tua.
Dulu, banyak anak-anak yang patuh pada kata-kata orang tua dan guru-gurunya. Yang dimaksud patuh adalah melaksanakan yang diminta orang tua dan tidak melakukan yang dilarang.
Begitulah, anak-anak dan remaja di zaman sekarang seperti punya standar sendiri soal ukuran baik-tidak baik atau pantas-tidak pantas.
Barangkali karena kecanduan melihat berbagai konten di media sosial yang menggambarkan tindak kekerasan, mereka gampang meniru.
Makanya, sekarang ini tindak kekerasan yang dilakukan anak sekolah terlihat makin menjadi-jadi dan diluar nalar orang tua.
Kabar terbaru terjadi di Temanggung, Jawa Tengah. Seorang siswa SMP berinisial SO (14 tahun), nekat membakar sekolahnya (SMP 2 Pringsutat).
Penyebabnya, SO mengaku sakit hati karena sering diejek hingga dikeroyok oleh temannya.
SO juga kesal pada beberapa gurunya. Ada gurunya yang merobek karya SO tanpa alasan yang jelas.
Bermula dari perundungan, yang pelampiasannya justru sesuatu yang diluar akal sehat, yakni pembakaran sekolah.
Terlepas dari soal pembakaran, perundungan itu sendiri menjadi masalah yang tak dapat dianggap sebagai hal yang kecil.
Kita tidak bisa mengatakan bahwa yang namanya anak-anak sudah biasa bercanda sesama mereka.Â
Tapi, jika ada 10 anak, di mana 9 anak merundung seorang anak, jelas membuat si anak yang dirundung merasa tertekan luar biasa.
Maka, bila anak yang tertekan menjadi sangat dendam dan ingin membalas dengan cara yang ekstrim, tentu menurut si anak wajar saja.
Hanya saja, di lihat dari kacamata orang dewasa, tindakan anak sekolah membakar sekolahnya sendiri, sesuatu yang kebangetan.
Jadi, ada 2 hal yang harus dicari solusinya. Pertama, bagaimana caranya agar semua anak-anak tidak merundung teman-temannya.
Kedua, bagaimana agar anak-anak mampu mengelola emosinya dengan baik dan tidak nekat melakukan hal yang berlebihan, meskipun atas nama balas dendam.
Perlu diketahui, keseharian anak-anak sekarang sudah tidak bisa terlepas dari gawai dan media sosial.
Masalahnya, banyak contoh dari tayangan di media sosial yang berkaitan dengan perundungan.
Emosi yang gampang tersulut untuk melakukan tindak kekerasan, juga banyak jadi konten di media sosial, yang meracuni pikiran anak.
Diduga, pengaruh dari konten media sosial itulah yang membuat perundungan dan aksi kekerasan yang melibatkan anak-anak semakin sering terjadi.
Selain itu, keteladanan dari orang tua juga kurang berjalan dengan baik. Soalnya, orang dewasa banyak pula yang kecanduan media sosial.
Demikian pula soal tindak kekerasan dan perundangan, di kalangan orang dewasa pun juga banyak terjadi.
Dengan demikian, orang dewasa yang perlu terlebih dahulu memperbaiki perilakunya, agar menjadi teladan bagi anak-anak dan remaja.
Kemudian, edukasi terhadap anak bagaimana memahami konten media sosial secara bijak, harus terus menerus disosialisasikan.
Akan lebih baik bila anak punya kegiatan lain yang positif, agar tidak terlalu menghabiskan waktu untuk berselancar di media sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H