Salah satu masalah pelik dalam membangun sebuah komunitas adalah yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan untuk kepentingan bersama.
Untuk komunitas yang dibiayai oleh sebuah perusahaan karena ada nilai bisnisnya, tentu tidak masalah soal keuangan.
Namun, komunitas informal seperti perkumpulan alumni dari suatu sekolah, paguyuban warga perantau di ibu kota yang berasal dari suatu kota atau kabupaten, soal dana bisa jadi masalah.
Dana diperlukan untuk berbagai hal, terutama untuk makanan saat pertemuan rutin (bisa bersifat bulanan, 3 bulanan, atau tahunan).
Bisa pula untuk dana sosial bila ada anggota atau istri/suaminya yang terkena musibah, seperti sakit parah atau meninggal dunia.
Adapun sumber dana yang paling lazim dalam suatu komunitas informal adalah dari iuran bulanan para anggota.
Besarnya iuran per orang sesuai dengan kesepakatan bersama saat pembentukan komunitas. Biasanya dalam nominal yang kecil, sehingga tak ada anggota yang keberatan.
Baru-baru ini di grup alumni sekolah yang saya termasuk salah satu anggotanya, ada berita duka berkaitan dengan meninggalnya istri dari seorang teman.
Lalu, salah seorang anggota grup setelah memposting ucapan dukacita, mengajukan pertanyaan kepada ketua grup apakah akan ada pemberian semacam uang duka.
Jawaban ketua cukup menohok dengan mengungkit soal dari sekitar 200 anggota, hanya 40 orang yang disiplin membayar uang bulanan.
Padahal, uang bulanan itu relatif kecil yakni Rp 25.000 per bulan. Tapi kok banyak yang malas mentransfer uang ke rekening bendahara grup?
Namun, jangan buru-buru bilang jumlah Rp 25.000 itu sebagai hal yang ringan. Tak bisa dipukul rata kemampuan semua anggota.
Bagi teman-teman yang sudah pensiun dan ikut banyak komunitas, bisa jadi keberatan dengan iuran sebesar tersebut.
Memang, sebagian besar teman-teman anggota grup, mereka mampu hidup secara layak. Tapi, ada beberapa orang yang tergolong kurang mampu.
Masalahnya, anggota kurang mampu ini tidak punya keberanian untuk menyatakan keberatannya saat diambil kesepakatan soal jumlah iuran.
Oke, anggaplah yang kurang mampu bisa dipahami kenapa menunggak pembayaran iuran. Namun, tak sedikit mereka yang mampu yang malas membayar iuran, padahal rajin ikut acara komunitas.
Di grup lainnya yang saya ikuti, ketua grup bertindak tegas bagi anggota yang berkali-kali menunggak iuran anggota.
Pertama, jika ditimpa kemalangan, anggota yang tidak membayar iuran tidak akan menerima uang duka atau uang bantuan yang sakit keras.
Kedua, anggota akan dikeluarkan dari komunitas jika sudah terlalu lama tidak pernah membayar iuran.
Namun, cara tegas di atas rasanya agak "kasar" dan malah tujuan membentuk komunitas untuk menjalin silaturahmi jadi hilang.
Dari pengamatan saya, komunitas bisa langgeng bila ada "the big boss"-nya. Maksudnya, jika ada acara, big boss dengan sukarela akan menjadi donatur utama.
Ada pula komunitas yang saya ikuti yang tidak menerapkan iuran bulanan, tidak ada pula "big boss"-nya, tapi mengedarkan list sumbangan setiap akan ada acara atau akan memberikan donasi sosial.
Apapun itu, sebaiknya ketika masuk sebuah komunitas, setiap anggota sudah menyadari konsekuensinya, apa kewajibannya dan apa haknya.
Bagaimanapun, nilai-nilai pertemanan itu lebih tinggi dari sekadar uang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H