Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Uang dan Foto Caleg Membuat Rusak Lingkungan

12 Juli 2023   09:55 Diperbarui: 12 Juli 2023   10:44 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa Pemilu Legislatif (Pileg) 2024 mendatang tetap menggunakan sistem proporsional terbuka.

Artinya, pemilih dipersilakan memilih nama calon legislatif (caleg) yang disukainya. Tak masalah jika si caleg berada di nomor urut buncit dalam daftar caleg yang diajukan suatu partai politik (parpol).

Dengan demikian, yang lebih aktif berkampanye adalah para caleg secara personal, lebih aktif ketimbang kampanye dari pengurus parpol.

Kalau misalnya MK memutuskan kembali ke sistem proporsional tertutup, maka pemilih hanya memilih parpol yang dipercayanya, bukan memilih nama.

Misalnya akumulasi suara pemilih sebuah parpol di suatu daerah pemilihan cukup untuk 3 caleg parpol tersebut, maka yang akan dilantik sebagai wakil rakyat adalah calon nomor urut 1 sampai 3.

Adapun yang menempatkan apakah seorang caleg menduduki nomor peci (nomor kecil, peluang terpilihnya besar) atau nomor sepatu (nomor besar, peluang terpilihnya sangat kecil) adalah pengurus parpol.

Dengan sistem proporsional terbuka, seorang caleg tidak hanya bersaing degan caleg dari parpol lain, tapi juga dengan teman satu parpol.

Boleh-boleh saja kita mengatakan sistem proporsional terbuka lebih demokratis, meskipun masing-masing sistem sebetulnya punya kelebihan dan kelemahan. 

Dan betul, dilihat dari sisi lebih banyaknya pilihan bagi pemilih, sistem terbuka jelas lebih baik, ketimbang pemilih hanya sekadar memilih parpol.

Nah, sekarang tinggal bagaimana mengupayakan agar kelemahan sistem proporsional terbuka ini bisa diminimalisir.

Paling tidak, ada beberapa dampak yang bersifat negatif, yang perlu dicegah atau diatasi oleh pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu.

Pertama, tak bisa dipungkiri politik uang menjadi hal yang paling sering menodai pemilu di negara kita. 

Parahnya, politik uang itu, mohon maaf, ibrarat kentut, dalam arti tercium aroma busuknya yang menyengat. 

Tapi, secara kasat mata tidak kelihatan, sehingga relatif sulit untuk diproses secara hukum. Si penerima dan si pemberi sama-sama diam.

Politik uang adalah tindakan memobilisasi pemilih agar memilih calon tertentu di Tempat Pemungutan Suara (TPS), dengan terlebih dahulu si calon memberikan imbalan berupa uang.

Makanya, istilah serangan fajar sangat populer di hari mendekati pemilu. Yakni, semacam operasi senyap mendistribusikan uang kepada para pemilih.

Termasuk pula dalam kelompok politik uang, pemberian imbalan dalam bentuk barang dan jasa, seperti pemberian sembako, voucher yang bisa dibelanjakan, dan sebagainya.

Kedua, sebagian besar pemilih diperkirakan belum mengenal track record para caleg. Kecuali segelintir caleg yang sudah sejak jauh hari sering muncul dalam acara-acara publik.

Maka, agar dalam masa singkat tingkat elektabilitasnya naik drastis, dana kampanye perlu disiapkan seorang caleg dalam jumlah jumbo.

Jadi, kalaupun tidak menggunakan politik uang, dana individu yang perlu dikeluarkan untuk kampanye bisa disebut gila-gilaan.

Bahkan, ada caleg yang betul-betul jadi gila beneran, ketika dananya sudah habis terkuras, tapi tidak terpilih jadi wakil rakyat.

Ketiga, sebagai lanjutan dari kampanye yang menguras dana di atas, wajah para caleg pun bertebaran di mana-mana di banyak titik sebuah kota atau daerah.

Celakanya, pemasangan baliho, spanduk, poster, atau apapun namanya, yang memajang foto caleg, cenderung tidak dapat dikendalikan oleh aparat yang berwenang.

Akibatnya, wajah kota jadi rusak. Jembatan penyeberangan, halte bus, pagar seng proyek yang dalam pengerjaan, habis "dijajah" foto-foto besar itu. Bahkan, pepohonan pun dipaku untuk memajang foto.

Kalau dipikir-pikir, baik atribut kampanye maupun politik uang, telah merusak  lingkungan. Untuk politik uang, tentu bukan merusak pemandangan atau merusak pohon seperti foto-foto caleg.

Lingkungan yang rusak akibat politik uang adalah seperti yang telah disinggung di atas, yakni sifatnya yang seperti kentut.

Lho, kalau banyak orang yang "kentut" bersamaan, bukankah lingkungan masyarakat juga rusak? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun