Paling tidak, ada beberapa dampak yang bersifat negatif, yang perlu dicegah atau diatasi oleh pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu.
Pertama, tak bisa dipungkiri politik uang menjadi hal yang paling sering menodai pemilu di negara kita.Â
Parahnya, politik uang itu, mohon maaf, ibrarat kentut, dalam arti tercium aroma busuknya yang menyengat.Â
Tapi, secara kasat mata tidak kelihatan, sehingga relatif sulit untuk diproses secara hukum. Si penerima dan si pemberi sama-sama diam.
Politik uang adalah tindakan memobilisasi pemilih agar memilih calon tertentu di Tempat Pemungutan Suara (TPS), dengan terlebih dahulu si calon memberikan imbalan berupa uang.
Makanya, istilah serangan fajar sangat populer di hari mendekati pemilu. Yakni, semacam operasi senyap mendistribusikan uang kepada para pemilih.
Termasuk pula dalam kelompok politik uang, pemberian imbalan dalam bentuk barang dan jasa, seperti pemberian sembako, voucher yang bisa dibelanjakan, dan sebagainya.
Kedua, sebagian besar pemilih diperkirakan belum mengenal track record para caleg. Kecuali segelintir caleg yang sudah sejak jauh hari sering muncul dalam acara-acara publik.
Maka, agar dalam masa singkat tingkat elektabilitasnya naik drastis, dana kampanye perlu disiapkan seorang caleg dalam jumlah jumbo.
Jadi, kalaupun tidak menggunakan politik uang, dana individu yang perlu dikeluarkan untuk kampanye bisa disebut gila-gilaan.
Bahkan, ada caleg yang betul-betul jadi gila beneran, ketika dananya sudah habis terkuras, tapi tidak terpilih jadi wakil rakyat.