Saya memang produk pendidikan jadul, sehingga hanya mengikuti wisuda setelah menamatkan kuliah saja. Itupun wisuda gaya lama, tak ada yang memberi saya buket bunga.
Ketika saya lulus Sekolah Dasar, jangankan wisuda, acara perpisahan pun tidak ada. Acara mengambil ijazah berlangsung seperti mengambil rapor saja.
Baru saat lulus sekolah menengah ada acara perpisahan yang saya ikuti, tapi itupun acara yang sangat sederhana.Â
Tempat acara berlangsung di sekolah. Meskipun sekolah tak punya aula, dari pembatas antar kelas ada yang bisa dibuka tutup, sehingga beberapa kelas digabung menjadi aula.
Tapi, pembagian ijazah tidak dilakukan saat perpisahan. Beberapa hari setelah perpisahan, baru ijazah bisa diambil tanpa acara apa-apa.Â
Caranya, masing-masing pelajar datang ke kantor sekolah untuk menemui guru yang menyimpan ijazah.
Beralih ke kisah anak-anak saya yang bersekolah setelah tahun 2000. Mereka punya pengalaman yang lebih bervariasi, terutama menyangkut acara yang bersifat seremonial.
Ketika anak tertua saya Sekolah Taman Kanak-kanak (TK), seingat saya belum ada wisuda, hanya perpisahan saja.
Namun, saya ingat sekali, pas anak bungsu saya menamatkan TK, mulai lazim dirayakan dengan acara wisuda.
Yang lebih seru, saat anak-anak saya tamat SMP dan SMA, wisudanya relatif mewah, tak kalah dengan wisuda sarjana.
Hal ini terlihat dari lokasi acara yang menyewa ballroom salah satu hotel berbintang di Jakarta Selatan.Â
Ada pula yang menyewa tempat di Balai Sudirman Jakarta Selatan, sebuah gedung yang sangat representatif dan biasa dipakai untuk resepsi pernikahan kelas menengah ke atas.
Setelah wisuda tak lagi eksklusif menjadi miliknya para sarjana yang baru lulus, nilai sakralnya terasa berkurang, karena praktis semua orang, bahkan anak TK, bisa wisuda.
Namun, bukan soal kehilangan kewibawaan wisuda yang sekarang menjadi polemik hangat di masyarakat, khususnya di kalangan orang tua murid.
Keberatan sebagian orang lebih kepada soal biaya wisuda yang relatif besar, antara lain karena itu tadi, ada yang menyewa tempat yang mewah.
Saya tak bermaksud ikut berpolemik, karena posisi saya netral. Bagi saya secara pribadi, ada wisuda oke-oke saja, sekadar perpisahan biasa pun tak jadi masalah.
Tapi, saya sangat memahami apa yang berkecamuk di pikiran orang tua murid yang kebetulan penghasilannya hanya cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.
Biaya pendidikan anak sudah besar, ditambah lagi biaya wisuda dengan segala pernak-perniknya.Â
Di lain pihak, orang tua dari kalangan atas seolah-olah pamer kekayaan, di saat anaknya diwisuda dengan tampilan yang bergaya elit.
Kalau boleh menyarankan, pihak sekolah yang perlu bijaksana, jangan terlalu mengakomodir pendapat orang tua murid yang berpunya.
Pihak sekolah harus berdiri di tengah, dengan ikut memancing perasaan orang tua murid yang kurang berpunya.
Ya, harus dipancing, karena orang tua dari kelompok bawah itu rata-rata tak percaya diri dalam mengemukakan pendapatnya dalam forum rapat di sekolah.
Idealnya, terapkan subsidi silang, di mana uang kontribusi dari orang tua yang mampu ditarik lebih basar, dan orang tua kurang mampu ditarik lebih kecil atau bahkan gratis.
Terlepas dari polemik di atas, saya tertarik melihat betapa tajamnya penciuman para pelaku usaha kecil pada saat tahun ajaran berakhir dan banyak acara wisuda digelar.
Salah satu peluang bisnis tersebut adalah kreativitas dalam membuat buket bunga untuk di jual pada keluarga atau sahabat wisudawan.
Soalnya, hadiah berupa buket bunga sekarang seperti "wajib" diberikan kepada anggota keluarga atau teman yang diwisuda. Memang, orang yang kreatif selalu jeli melihat peluang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H