Sebetulnya krisis lahan makam di Jakarta sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. Coba saja baca arsip media massa yang terbit pada dekade 1970-an.
Ketika itu sudah muncul pemberitaan terkait betapa ironisnya kondisi di Jakarta. Dengan kapasitas yang terbatas, Jakarta menerima banyak sekali perantau dari berbagai penjuru tanah air.
Tentu, para perantau itu ingin mencari nafkah di ibu kota, karena di kampungnya sendiri mereka mengganggur. Atau, mereka punya pekerjaan dengan penghasilan yang tidak mencukupi.
Padahal, mencari nafkah di Jakarta pun tidak gampang. Saat itu sudah muncul ungkapan; "ibu kota lebih kejam dari ibu tiri".
Nah, di sinilah ironisnya. Hidup di Jakarta itu ternyata tidak hanya sulit bagi orang hidup, tapi juga menyusahkan orang mati.
Hal itu berkaitan dengan itu tadi, terjadinya krisis lahan makam, yang sudah dikeluhkan sejak era Gubernur Ali Sadikin (1966-1977).
Kebijakan Ali Sadikin yang ketika itu ditentang banyak orang, termasuk para ulama, adalah menerapkan sistem pemakaman tumpang.
Dengan sistem tersebut, makam atau kuburan seseorang dalam kurun waktu tertentu dapat diisi lagi oleh jenazah yang lain.
Adapun yang menjadi perdebatan Ali Sadikin dengan ulama bukan soal sistem tumpangnya, karena di Arab Saudi pun sistem ini diberlakukan.
Hanya masalah kurun waktu tertentu yang dipermasalahkan. Ali Sadikin menetapkan 3 tahun, meskipun usul ulama 9 tahun.