Jadi, sistem tumpang bukanlah sistem yang baru-baru ini ada. Inilah bukti krisis lahan makam di ibu kota telah melewati sejarah panjang.
Kalau dulu saja sudah krisis, apalagi sekarang, ketika semeter persegi tanah semakin melambung harganya.
Idealnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengupayakan pengadaan tanah secara maksimal, katakanlah semacam program "Bank Tanah".
Selama ini, bank tanah lebih banyak diartikan sebagai pengadaan lahan yang nantinya digunakan untuk membangun rumah bagi warga yang kurang mampu.
Alangkah baiknya, bank tanah juga dimanfaatkan sebagai lahan makam atau menjadi Tempat Pemakaman Umum (TPU).
TPU yang terencana dengan matang sekaligus bisa berfungsi sebagai taman yang memperluas ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta.
Seperti diketahui, meskipun Pemprov DKI Jakarta aktif menggusur kawasan pemukiman liar dan dijadikan taman, namun rasio RTH di Jakarta masih relatif rendah.
Rasio RTH yang bagus adalah 30 persen dari luas lahan di suatu daerah. Namun hingga saat ini, RTH di DKI Jakarta belum mencapai 10 persen.
Kenapa RTH harus demikian luas? Karena selain indah dan tempat warga bersantai, juga berfungsi menyaring polusi udara, sehingga lebih sejuk dan menyehatkan.
Bila Jakarta punya RTH yang luas, besar kemungkinan predikat sebagai kota besar terpolusi di dunia tak lagi disematkan ke kota Jakarta.
Kembali ke soal lahan makam, regulasi lain yang belum berjalan dengan baik adalah soal pembebasan tanah oleh pengembang yang membangun komplek perumahan.