Judul di atas "Habis Pandemi Terbitlah Polusi" hanya biar enak dibaca dari susunan kalimatnya saja, terpengaruh tulisan pahlawan nasional R.A.Kartini berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang".
Tapi, dari paparan saya berikut ini akan terlihat bahwa sekarang sebetulnya pandemi belum sepenuhnya habis, meskipun penambahan kasus Covid-19 baru sudah jauh menurun.
Sedangkan soal polusi, bukan baru terbit sekarang. Jauh sebelum pandemi, di Jakarta dan sekitarnya, juga kota besar lainnya di tanah air, sudah lama terjadi polusi udara.
Polusi tersebut antara lain disebabkan oleh kendaraan yang semakin banyak, yang terbukti dengan kemacetan luar biasa di Jakarta.
Selain itu, polusi juga bisa diakibatkan oleh aktivitas industri dan pembakaran lain. Seperti diketahui, di sekitar Jakarta seperti Tangerang dan Bekasi, terdapat beberapa pusat industri.
Namun demikian, bagi mereka yang sudah lama menetap di Jakarta, mungkin tak lagi merasa aneh dan tidak lagi sensitif dengan polusi tersebut.
Itu juga yang saya rasakan, karena saya sudah 37 tahun menetap di Jakarta. Saya sudah merasa terbiasa dan nyaman-nyaman saja dengan kondisi seperti itu.
Tapi, sekarang saya mesti menyadari bahwa saya hidup di lingkungan yang tidak baik-baik saja.
Saat saya menulis artikel ini, saya sudah menderita batuk selama satu minggu. Awalnya saya mencoba membeli obat bebas, tapi tidak mempan.
Kemudian, saya konsul ke dokter dan diberikan obat batuk beserta antibiotik. Alhamdulillah, batuk saya sudah berkurang dan semoga segera sembuh total.
Satu hal yang menurut saya penting untuk dilakukan oleh semua orang jika berada dalam lingkungan yang relatif ramai, adalah untuk tetap memakai masker.Â
Saya sendiri selalu ingat untuk memakai masker setiap akan meninggalkan rumah. Apalagi, jika mau melaksanakan salat Jumat.
Kondisi salat Jumat tak lagi ada jarak antar jemaah seperti saat pandemi dulu. Memang, saat normal, salat berjemaah harus dalam kondisi "merapatkan barisan".
Sayangnya, banyak orang lain yang tidak pakai masker. Jadi, saya yang pakai masker menjadi minoritas.Â
Dugaan saya, hanya sekitar 2 persen saja jemaah yang pakai masker. Saya mengamati, hanya satu orang dalam setiap dua saf (satu saf memuat sekitar 20 orang) yang pakai masker.
Terhadap mereka yang tak pakai masker, tak ada masalah. Hal ini tidak dianggap pelanggaran, karena pemerintah tak lagi mewajibkan penggunaan masker.
Bahkan, pengurus masjid yang dulu sangat ketat mengecek suhu tubuh jemaah, meminta mencuci tangan dan pakai masker, sekarang terlihat cuek saja.
Sebetulnya, Covid-19 dengan berbagai variannya, menurut dokter tempat saya konsultasi baru-baru ini, masih ada.
Hanya saja, pemerintah tidak lagi memperlakukan penderita Covid secara khusus. Artinya, silakan masing-masing orang mengurus diri sendiri.
Maka, menurut saya, sikap waspada tetap diperlukan, meskipun tidak harus sampai overthinking.
Lagipula, seperti sudah disinggung di awal tulisan ini, untuk warga ibu kota Jakarta dan sekitarnya, data menunjukkan sebagai kota terparah polusi udaranya di dunia.
Jangan heran, warga yang batuk-batuk seperti saya ternyata lumayan banyak, kata dokter yang saya kunjungi.
Tentang kewajiban memakai masker, hanya di rumah sakit yang masih lumayan ketat menerapkannya.Â
Di tempat lainnya, termasuk mal dan perkantoran, perlu kesadaran masing-masing orang untuk memakai masker.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI