Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Fasih Bicara Pancasila, tapi Tak Tahan Godaan Korupsi

2 Juni 2023   05:31 Diperbarui: 2 Juni 2023   05:36 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pendidikan di sekolah|dok. CNN Indonesia/Safir Makki

Rasanya semua anak sekolah pasti hafal Pancasila. Selain karena menjadi salah satu mata pelajaran, teks Pancasila selalu dibacakan pada upacara bendera setiap Senin pagi.

Tapi, tentu semua kita sepakat bahwa sekadar hafal saja, tidaklah cukup, karena bukan menghafalkan Pancasila yang terpenting. 

Justru, yang dituju adalah bagaimana agar keseharian kita, segenap anak bangsa ini, mulai dari pejabat tinggi hingga rakyat banyak, menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Para pendiri bangsa Indonesia telah menetapkan Pancasila sebagai dasar negara dan menjadi pedoman kehidupan bagi seluruh rakyat.

Sampai kapanpun, Pancasila diyakini akan tetap relevan menjadi pemersatu bangsa. Oleh karena itu, mewariskannya kepada generasi muda, menjadi suatu kewajiban.

Agar anak muda tetap memegang teguh Pancasila, maka sejak kecil, katakanlah sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, harus ditanamkan dalam hati anak-anak.

Namun, sekali lagi, menamkan itu bukan sekadar menghafalkan. Harus secara simultan dibarengi dengan penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila.

Artinya, antara teori (hafalan) dengan praktik (pengamalan) harus sejalan. Ini yang perlu disadari para guru dan didukung oleh orang tua murid.

Praktik Pancasila tersebut disesuaikan dengan usia anak. Sebagai contoh, anak kelas 1 SD praktiknya bisa tersamar dalam bentuk permainan.

Dengan permainan itu, anak-anak diajarkan untuk bersikap jujur, saling bekerjasama, dan sikap positif lainnya.

Nah, kalau nilai-nilai itu telah menyatu dalam sikap keseharian si anak, diharapkan sampai dewasa kelak akan menuntunnya menjadi pribadi Pancasilais sejati.

Ingat, pada masanya kelak, anak-anak sekarang akan meneruskan estafet pembangunan bangsa. Di tangan merekalah masa depan bangsa dipertaruhkan.

Jangan sampai nantinya mereka menjadi pejabat yang fasih berbicara butir-butir Pancasila, namun tak tahan godaan untuk berbuat korupsi. Bukan model begini yang kita inginkan.

Dalam hal ini, petani desa yang pendidikannya minim justru lebih Pancasilais dari pejabat yang korup, meskipun si petani tak hafal Pancasila. 

Soalnya, petani di desa terbiasa saling menghormati sesama, bergotong royong, bermusyawarah dalam forum rembug desa, beribadah di masjid kampung, dan sebagainya.

Itu semua yang menjadi keseharian petani di desa, sangat jelas merupakan contoh penerapan nilai-nilai Pancasila.

Nah, kembali ke bangku pendidikan, penugasan dari guru yang bersifat praktik pengamalan Pancasila, memang sangat diperlukan.

Tapi, pada akhirnya sikap keseharian guru itu sendiri, yang jadi faktor penentu keberhasilan menyemai benih karakter Pancasila di dada para anak didiknya.

Maksudnya, sikap keseharian guru seyogyanya pantas diteladani, sebagai sosok yang karakternya sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Guru yang tanpa sadar  bersikap pilih kasih terhadap murid-muridnya, bukanlah guru yang layak jadi teladan.

Misalnya, terhadap orang tua murid yang sering memberi hadiah, maka anaknya diistimewakan. Ini bertentangan dengan nilai Pancasila.

Meskipun sekolah negeri bersifat gratis, tapi komite orang tua murid mungkin saja membuat berbagai program yang memberatkan bagi anak dari keluarga tak mampu.

Jika "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" diterapkan, maka kerjasama orang tua murid dan guru seharusnya menggalang bantuan untuk  murid dari keluarga tak mampu.

Sangat sedih bila sebagian murid akhirnya terpaksa putus sekolah, antara lain karena sekolah gratis pun tidak betul-betul gratis semuanya.

Anak-anak pada dasarnya masih "suci", justru karena sikap orang tualah yang membuat anak-anak dengan latar belakang ekonomi keluarga yang berbeda, jadi tidak akrab.

Miris bila anak orang kaya berteman sesama anak orang kaya, dan secara tak langsung membuat anak orang tak berpunya merasa minder.

Jelaslah, kunci terbentuknya anak-anak yang berkarakter Pancasila, tergantung sikap dan perilaku sehari-hari orang tua di rumah dan guru di sekolah. 

Anak-anak pada dasarnya meniru apa yang dilihatnya dari orang tua dan guru mereka. Percuma orang tua dan guru menceramahi anak, kalau malah tak mampu memberi contoh dalam perbuatan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun