Nah, kalau nilai-nilai itu telah menyatu dalam sikap keseharian si anak, diharapkan sampai dewasa kelak akan menuntunnya menjadi pribadi Pancasilais sejati.
Ingat, pada masanya kelak, anak-anak sekarang akan meneruskan estafet pembangunan bangsa. Di tangan merekalah masa depan bangsa dipertaruhkan.
Jangan sampai nantinya mereka menjadi pejabat yang fasih berbicara butir-butir Pancasila, namun tak tahan godaan untuk berbuat korupsi. Bukan model begini yang kita inginkan.
Dalam hal ini, petani desa yang pendidikannya minim justru lebih Pancasilais dari pejabat yang korup, meskipun si petani tak hafal Pancasila.Â
Soalnya, petani di desa terbiasa saling menghormati sesama, bergotong royong, bermusyawarah dalam forum rembug desa, beribadah di masjid kampung, dan sebagainya.
Itu semua yang menjadi keseharian petani di desa, sangat jelas merupakan contoh penerapan nilai-nilai Pancasila.
Nah, kembali ke bangku pendidikan, penugasan dari guru yang bersifat praktik pengamalan Pancasila, memang sangat diperlukan.
Tapi, pada akhirnya sikap keseharian guru itu sendiri, yang jadi faktor penentu keberhasilan menyemai benih karakter Pancasila di dada para anak didiknya.
Maksudnya, sikap keseharian guru seyogyanya pantas diteladani, sebagai sosok yang karakternya sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Guru yang tanpa sadar  bersikap pilih kasih terhadap murid-muridnya, bukanlah guru yang layak jadi teladan.
Misalnya, terhadap orang tua murid yang sering memberi hadiah, maka anaknya diistimewakan. Ini bertentangan dengan nilai Pancasila.