Satu-satunya penulis bergelar "maestro" di Kompasiana, Tjiptadinata Effendi, baru saja berulang tahun ke-80. Usia yang tidak lagi muda, tapi fisik beliau sangat sehat seperti anak muda.
Karena saya terbiasa memanggil beliau dengan Pak Tjipta (dan Bu Lina untuk istri tercinta beliau), maka di tulisan ini pun saya tetap menggunakan panggilan tersebut.
Sungguh suatu kebahagiaan bagi saya, baru sekitar 3 menit saya menyampaikan berminat atas buku terbaru karya Pak Tjipta, buku dalam format e-book langsung terkirim ke gawai saya.
Buku tersebut berjudul "Saya Keturunan Tionghoa Tapi Orang Indonesia". Judulnya sudah "menggigit", tersirat beliau bangga sebagai orang Indonesia.
Jadi, jangan pertentangkan nenek moyang seseorang. Toh, seperti juga saudara-saudara kita keturunan Jawa, Sunda, Batak, Aceh, Papua, dan sebagainya, sudah menyatu sebagai orang Indonesia.
Ternyata judul buku di atas diambil dari salah satu judul tulisan beliau. Memang, buku itu berisikan kumpulan tulisan yang pernah tayang di Kompasiana.
Karena saya rutin membaca tulisan-tulisan Pak Tjipta dan Bu Lina, sebagian besar tulisan tersebut sudah pernah saya baca.
Tapi, membaca ulang tulisan beliau terasa lebih mantap. Apalagi, tulisan-tulisan Pak Tjipta bersifat evergreen, tetap relevan untuk dibaca kapan pun.
Setiap judul memang terlepas, dalam arti seolah-olah tak ada kaitan antara satu judul dengan judul yang lain.
Namun, kalau dicermati, semua tulisan tersebut ada benang merahnya, yakni betapa Pak Tjipta dan Bu Lina telah menerapkan cara ideal dalam berinteraksi dengan sesama manusia.
Benang merah tersebut dapat dirangkum dalam 7 dimensi berikut ini.
Pertama, bagaimana beliau membangun rumah tangga yang penuh kasih sayang. Suami yang istimewa, ayah yang bijaksana, dan kakek yang penyayang.
Bagi mereka yang ingin tahu apa resep rumah tangga yang harmonis, akan terjawab di beberapa tulisan di buku ini.
Kedua, bagiamana beliau sangat menghargai sesama manusia. Jiwa sosialnya sangat tinggi dan tidak pilih-pilih, dari orang kecil hingga pejabat tinggi, semuanya dihargai.
Beliau membantu siapa saja tanpa memandang apa agamanya, atau apa sukunya. Kemanusiaan tanpa sekat ini pantas diteladani.
Ketiga, betapa beliau sangat memahami filosofi kehidupan Minangkabau, meskipun beliau hanya mengaku sebagai orang Padang, bukan orang Minang.
Tapi, bagi saya yang kebetulan asli Minang, Pak Tjipta lebih Minang dari orang Minang, mengingat banyak anak muda Minang yang tak memahami filosofi tersebut.
Keempat, beliau juga sangat menghargai budaya leluhur sebagai orang yang berdarah Tionghoa, tanpa mengurangi penghayatan beliau terhadap budaya Minang.
Kelima, beliau sangat berjiwa nasionalis dan mencintai Indonesia sepenuh hati, tanpa henti dan tanpa pamrih. Meskipun sekarang berdomisili di Australia, kecintaan itu tidak luntur.Â
Keenam, beliau sekaligus juga sangat religius, tidak hanya rajin ke gereja, tapi juga punya toleransi yang sangat tinggi dengan pemeluk agama lainnya.
Ketujuh, beliau sekaligus juga warga internasional dalam arti sangat paham tata cara etika pergaulan di level internasional.
Sekarang beliau tinggal di Perth, Australia Barat. Menantu, cucu, dan cicit beliau dari berbagai bangsa.
Tentu, tak ada manusia yang sempurna. Saking baiknya Pak Tjipta, terkadang ditelikung oleh anak buahnya atau oleh mitra kerjanya. Tapi, jiwa sosialnya tetap tak pernah surut.Â
Pak Tjipta dan Bu Lina adalah sosok panutan. Buku-buku beliau menjadi warisan tak ternilai dan layak dijadikan salah satu pedoman kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H