Baru-baru ini, Toko Buku Gunung Agung yang berada di Jalan Kwitang, Jakarta Pusat, sangat ramai dikunjugi konsumen, karena lagi cuci gudang besar-besaran.
Kabar bahwa toko buku legendaris itu akan tutup permanen, membuat banyak orang melimpah ruah pada Kamis (31/8/2023) kemaren.
Barangkali, konsmen mengira mulai 1 September 2023 Gunung Agung tak lagi beroperasi. Makanya, pada hari terakhir bulan Agustus, terjadi kemacetan luar biasa di depan toko tersebut.
Rupanya, karena stok buku masih ada, pada 1 September 2023 Gunung Agung Kwitang masih buka, melayani pembeli yang belum terlayani di hari sebelumnya.
Kenapa Gunung Agung disebut toko buku legendaris? Karena sudah sangat lama berdirinya, yakni sejak tahun 1953.Â
Artinya, usia Gunung Agung ketika habis riwayatnya, telah 70 tahun. Sebuah usia yang sangat panjang untuk bisnis toko buku.
Memang, sebelum lahir Gunung Agung, tentu telah banyak toko buku yang terdapat di Jakarta, bahkan sejak Jakarta masih bernama Batavia.
Tapi, toko buku modern yang pengelolaannya seperti di swalayan pada umumnya, dipelopori oleh Gunung Agung.
Makanya, banyak konsumen yang datang pada saat cuci gudang memperlihatkan ekspresi sedih saat diwawancarai jurnalis televisi yang meliput.
Mereka mengatakan terlalu banyak nostalgianya di Gunung Agung. Dari mereka bersekolah hingga sudah jadi kakek nenek, mereka jadi pelanggan di sana.
Namun, apa mau dikata. Bisnis perbukuan dalam format cetak secara fisik memang tak mampu melawan kehendak zaman yang sekarang serba online, serba digital.
Untuk bisnis lain, bisa jadi usia 70 tahun belum tua, karena banyak bisnis yang masih bertahan lebih dari satu abad.Â
Tapi, tidak demikain untuk media cetak. Bukan hanya buku, sebelum itu perusahaan penerbit koran dan majalah sudah banyak gulung tikar.
Pada masa jayanya, Gunung Agung menjadi satu-satunya perusahaan yang mengelola toko buku yang go public, meskipun kemudian menjadi perusahaan tertutup lagi.
Mengingat perusahaan yang akan go public alias menjual sahamnya di bursa efek, harus memenuhi persyaratan yang ketat, menjadi bukti bahwa Gunung Agung dikelola secara profesional.
Pesaing utama Gunung Agung adalah Gramedia yang saat ini beruntung masih eksis. Kelompok Kompas Gramedia sejauh ini masih terlihat kuat.
Namun, harus diakui, saat ini adalah senjakala bisnis toko buku, karena yang tutup semakin banyak saja.Â
Hal itu terjadi tentu karena omzetnya menurun tajam dan tak kuat lagi menanggung biaya operasional.
Biaya operasional tersebut mulai dari gaji karyawan, biaya sewa dan pemeliharaan toko, biaya listrik, dan sebagainya.
Memang, masih ada cara lain berjualan buku cetak selain dengan membuka toko, yakni dengan menjual secara online melalui media sosial atau marketplace.
Tapi, saingan dari e-book juga tak kalah sengit. Selain itu, karena terlalu banyak menghabiskan waktu untuk bermedia sosial, diduga minat membaca buku masyarakat sudah menurun.
Politik pendidikan pemerintah sebetulnya bisa membantu mencegah semakin banyaknya toko buku yang tutup, jika pendidikan berbasis literasi perbukuan yang dikembangkan pemerintah.
Kondisi saat ini sangat berat bagi penulis buku, penerbit, dan pedagang buku. Perlu terobosan oleh semua semua pihak yang terkait, termasuk pegiat literasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H