Hubungan antara PDIP dan NU atau kelompok yang mewakili Islam moderat dan punya banyak sekali pengikutnya, boleh dibilang saling melengkapi.
Hal itu sudah berlangsung sejak lama dan kerja sama kedua pihak menjadi simbol harmonisnya hubungan kelompok nasionalis dan kelompok religius.
Sebagai contoh, sewaktu Abdurrahman Wahid menjadi Presiden, Megawati yang jadi Wakil Presiden. Gus Dur pendiri PKB dan Ketua Umum NU. Megawati dari dulu sudah jadi Ketua Umum PDIP.
Kemudian sewaktu Megawati menjadi Presiden, yang menjadi wakilnya  adalah Hamzah Haz, warga NU yang juga Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sewaktu Megawati menjadi capres pada Pilpres 2004, yang menjadi cawapresnya adalah Hasyim Muzadi yang ketika itu menjadi Ketua Umum NU.
Sayangnya, pasangan Mega-Hasyim dikalahkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK).
5 tahun kemudian, Megawati kembali mencoba merebut kursi RI-1 dari SBY. Tapi, kali ini pasangan Megawati bukan figur yang mewakili kelompok religius.
Jadi, boleh dikatakan, saat Mega memilih Prabowo Subianto sebagai cawapres, ini keluar dari pakem pasangan nasionalis religius.
Tapi, lagi-lagi Megawati kalah, dan SBY yang berhasil terpilih sebagai presiden untuk kedua kalinya. Meskipun SBY berpasangan dengan non politisi, yakni ekonom Boediono.
Kalau begitu, apakah pasangan sesama nasionalis memang tidak bagus prospeknya? Tak bisa langsung disimpulkan seperti itu.