Pada hari Sabtu (6/5/2023) kemarin, saya menghadiri 2 acara resepsi pernikahan. Untung saja kedua resepsi itu tidak bersamaan jamnya, yang satu siang dan yang satu lagi di malam hari.
Tapi, saya pernah beberapa kali terpaksa buru-buru mengakhiri kehadiran di sebuah resepsi pernikahan, karena harus mengejar resepsi yang lain lagi.
Bayangkan kalau lokasi resepsi yang bentrok waktunya itu jaraknya berjauhan, meskipun sama-sama di Jakarta Selatan. Apalagi, jalanan lagi macet.Â
Ternyata, pada bulan Syawal sekarang ini, bukan hanya puasa sunnah selama 6 hari saja yang disarankan untuk kita lakukan.
Menyiapkan "amplop" pun perlu diantisipasi, karena jika kita mendapat undangan resepsi pernikahan, sudah bukan zamannya lagi memberikan kado berupa barang seperti dulu.
Saya yakin, banyak di antara kita yang juga menerima undangan pernikahan, karena sudah tradisi pada masyarakat kita untuk menikahkan anak sehabis bulan suci Ramadan ini.
Sebetulnya, tradisi itu bukanlah sesuatu yang mengada-ada, namun berdasarkan ajaran dan sunnah Rasulullah yang menikahi Aisyah di bulan Syawal.
Namun demikian, seperti sering diceramahkan para ustaz, pada dasarnya semua bulan itu baik untuk melangsungkan pernikahan.
Tanpa perlu saya menyebutkan di daerah mana (yang jelas masih di Indonesia), di zaman dulu, ada kepercayaan masyarakat untuk tidak melangsungkan pernikahan di antara dua hari raya.
Maksudnya, tidak baik menikah di antara hari Idul Fitri dan Idul Adha. Tentu, bulan Syawal sendiri adalah salah satu dari dua bulan di antara dua hari besar Islam itu.