Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Meneladani Buya Hamka, Nonton Film Sekadar Pembuka

29 April 2023   14:41 Diperbarui: 29 April 2023   15:31 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Buya Hamka dalam film|dok. Falcon Pictures via YouTube, dimuat cnnindonesia.com

Ketika saya masih SD tahun di awal 1970-an, ayah saya rutin mengikuti acara RRI Jakarta setiap subuh. Ketika itu masih era radio transistor.

Acara yang diikuti ayah saya, yang juga membuat saya tertarik, adalah ceramah agama dari Buya Hamka. Beliau salah satu ulama besar yang tidak hanya diakui di dalam negeri, tapi juga di negara lain.

Artinya, hingga generasi saya, maksudnya yang mengalami masa sekolah sekitar dekade 1970-an, rasanya masih banyak yang teringat dengan suara serak-serak basah Buya Hamka.

Namun, generasi setelah itu, apalagi yang lahir setelah tahun 2000, mungkin malah bertanya-tanya siapa itu Buya Hamka?

Maka, tepat sekali pada libur lebaran sejak sekitar 10 hari yang lalu, sebuah film yang mengangkat kisah kehidupan Buya Hamka ditayangkan di banyak bioskop.

Meskipun tidak terlalu meledak seperti film-film nasional bergenre horor, antusiasme penonton lumayan bergairah menyambut film tersebut.

Buktinya, hingga hari ini, masih sangat banyak bioskop yang menanyangkan film yang tidak semata menghibur, tapi juga edukatif itu.

Biasanya, film yang jeblok di pasaran, paling lama bertahan hanya 1 minggu. Pengelola bioskop tentu tidak akan mau menayangkan film yang sepi penonton.

Sewaktu saya menonton di salah satu bioskop di Jakarta Selatan, saya gembira melihat banyak para remaja yang juga ikut menonton.

Mudah-mudahan, setelah keluar dari bioskop, banyak penonton yang berusaha mendalami pemikiran Buya Hamka, antara lain dengan membeli dan membaca buku-buku karya ulama hebat itu.

Sebetulnya, predikat Buya Hamka tidak hanya ulama. Pada awalnya, seperti yang terlihat pada adegan film, Buya Hamka sudah eksis sebagai novelis dan wartawan.

Jadi, warisan Buya Hamka sungguh tak ternilai dari ratusan judul buku yang ditulisnya. Mulai dari novel, tasawuf, sejarah, pendidikan agama, hingga tafsir Al-Quran.

Kalau hanya sekadar menonton film, rasanya belum cukup bagi seseorang untuk memetik pelajaran berharga tentang Buya Hamka. 

Tapi, bukan berarti menontonnya tidak membawa manfaat. Toh, paling tidak, dengan menonton bisa menggugah untuk mempelajari karya Buya Hamka.

Datangilah toko buku, misalnya Gramedia, dan temukan buku-buku Buya Hamka yang telah dicetak ulang puluhan kali. 

Kemudian, yang lebih penting lagi, bagaimana agar kita bisa menerapkan isi buku dalam kehidupan sehari-hari, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan agama.

Tentang film Buya Hamka itu sendiri, menurut sejumlah media, telah disiapkan selama 9 tahun dan menelan biaya sangat besar, yakni Rp 60 miliar. 

Film tersebut berdurasi sangat lama, makanya dibagi dalam 3 volume. Yang baru beredar serentak memeriahkan libur lebaran di seluruh Indonesia, baru film Buya Hamka Volume 1.

Adegan kelembutan Buya Hamka yang diperankan Vino G Bastian terhadap istrinya Siti Raham (diperankan Laudya Chintya Bella), cukup sering muncul di layar.

Demikian juga cara beliau mendidik anak-anak yang tidak main perintah, melainkan dengan kasih sayang. 

Di bagian akhir film, terlihat Buya Hamka dan Bung Karno punya visi yang sama, dalam arti perjuangan dalam bidang dakwah Buya Hamka sejalan dengan perjuangan nasionalisme Bung Karno.

Bung Karno menyebut Hamka sebagai saudara seperjuangan sewaktu keduanya berdiskusi di Bengkulu, tempat Bung Karno diasingkan penjajah Belanda.

Tapi, mudah-mudahan nanti di Volume 2 atau 3 akan terdapat adegan bagaimana akhirnya Buya Hamka terpaksa mendekam di penjara, justru di era Presiden Soekarno.

Hebatnya, Buya Hamka dengan ikhlas memimpin salat jenazah ketika Bung Karno wafat. Artinya, dalam soal memaafkan secara ikhlas, kita perlu meneladani Buya Hamka

Tidak itu saja, Buya Hamka tak pernah marah kepada orang yang menuduhnya ustaz cabul, karena menulis novel berupa roman percintaan

Hanya saja, namanya juga film, tentu kisahnya seperti meloncat-loncat dengan banyak adegan kilas balik. 

Akan lebih jelas jika kita membaca biografi ulama asal Sumbar yang lahir pada 1908 dan meninggal pada 1981 di Jakarta itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun