Dulu, kalau tak salah di tahun 1987, ada sebuah film nasional bertema drama anak remaja yang meledak di pasaran. Fim tersebut berjudul "Catatan Si Boy".
Bintang utamanya adalah Onky Alexander yang berperan sebagai Si Boy, potret anak gaul di era tersebut. Wajahnya ganteng, anak orang kaya, dan ini yang hebat, ia rajin salat.
Memang, bagi mereka yang kritis, karakter Boy mungkin dianggap sebuah anomali. Soalnya, meskipun ibadah tetap jalan, tapi ia seperti larut dalam bergaul dikelilingi cewek-cewek cantik.
Sehingga, jika disebut sebagai orang alim, mungkin Boy bukan contoh yang ideal. Tapi, disebut sebagai remaja yang nakal, Boy bukan begitu. Ia anak baik dan tak melalaikan salat.
Nah, jika diproyeksikan ke zaman sekarang, tentu tingkah laku anak gaulnya sudah jauh berbeda. Jika dulu tempat nongkrong anak gaul di jalanan, sekarang di kafe-kafe.
Dulu, remaja Jakarta Selatan pamer di jalan raya yang disebut ngeceng atau mejeng, lokasinya di sekitar Bulungan atau sepanjang Jalan Melawai.
Sekarang, anak gaul tetap memelihara budaya pamer, tapi pamernya di media sosial dan disebut dengan flexing.
Kalau dulu anak gaul lebih berisik, sekarang mereka berisiknya di dunia maya dengan memainkan jari-jarinya di gawai.
Kesamaannya zaman dulu dan zaman sekarang, yang namanya anak gaul sering mendapat stigma negatif, antara lain disebut kelompok orang-orang yang melalaikan perintah agama.
Tapi, baik dulu, maupun sekarang, selalu ada saja sebagian anak gaul yang menempuh jalan berbeda. Maksudnya, menjadi anak gaul yang rajin salat, kira-kira seperti Si Boy di zaman dulu.
Maka, tak perlu kaget, meskiput lagi hangout di kafe, si anak gaul yang cowok tak lupa salat di musala yang ada di kafe.
Sedangkan anak gaul yang cewek pakai hijab yang modis, membawa mukena ke mana-mana, agar gampang saat melakukan salat.
Banyak juga anak gaul cewek yang belum berhijab, namun mereka tetap konsisten melaksanakan salat.
Terhadap fenomena anak gaul yang tetap beribadah itu, kemungkinan tidak semua orang memberikan respon positif.
Ada beberapa respon negatif yang bisa saja terjadi, seperti yang diuraikan berikut ini.
Pertama, mereka yang salah tafsir dengan menganggap anak gaul yang beribadah karena ingin mendekati gadis tertentu yang kebetulan rajin berkegiatan di masjid.
Atau menganggap anak gaul tersebut rajin ibadah dalam rangka cari muka kepada orang tua dari cewek yang ditaksirnya.
Kedua, mereka yang menghindar atau bahkan mengucilkan anak gaul yang lagi beribadah di masjid. Alasannya, menurut mereka anak gaul tersebut tidak satu aliran dengan mereka.
Dalam hal ini, yang dianggap satu aliran sudah terlihat dari penampilan fisik, misalnya berbaju koko dan bercelana panjang yang agak menggantung di atas mata kaki.
Ketiga, mereka yang meragukan kualitas ke-Islam-an anak gaul, karena dianggap setengah-setengah dalam arti mencampuradukkan perbuatan baik dan perbuatan buruk.
Mungkin masih ada respon negatif lainnya, tapi 3 contoh di atas sudah cukup untuk menggambarkan, bahwa tak semua orang menyambut baik anak gaul yang rajin beribadah.
Bahwa anak gaul masih banyak melakukan hal yang kurang baik seperti berhura-hura, sebetulnya bukan alasan untuk mengucilkannya.
Justru anak gaul sebaiknya didekati, atau bahkan dirangkul. Jangan sampai anak gaul merasa tidak nyaman di masjid, dan akhirnya membuat kelompok pengajian eksklusif seperti pengajian artis.
Dengan dirangkul, mudah-mudahan semakin hari semakin intens mereka beribadah dan berbuat baik kepada sesama. Lalu, mereka diharapkan menularkannya kepada anak gaul lainnya.
Jadi, bila awalnya ada kelompok STMJ (salat terus, maksiat jalan), dengan didekati oleh komunitas masjid, nantinya anak gaul tersebut akan punya kontrol diri yang kuat.
Mereka akan mampu melakukan introspeksi, sehingga ibadahnya semakin khusuk dan meninggalkan perbuatan maksiat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H