Ke kota mana pun kita berkunjung, bisa dikatakan ada kedua minimarket tersebut, kecuali di Provinsi Sumatera Barat (Sumbar).
Hal itu bukan berarti daerah Sumbar tidak menarik atau secara bisnis belum layak dibuka minimarket.
Tak adanya dua nama penguasa bisnis ritel modern itu di Sumbar, karena pemerintah setempat tidak memberi izin kepada dua waralaba terkenal itu.
Alasan pelarangan oleh Pemprov Sumbar tersebut, agar tidak mematikan bisnis kecil seperti pedagang toko kelontong atau pedagang di pasar tradisional di Sumbar.
Namun, menyadari bahwa masyarakat memang membutuhkan kehadiran pasar swalayan, pemerintah setempat mempersilakan pengusaha lokal untuk mendirikannya.
Apalagi, banyak wisatawan domestik dari luar Sumbar yang lebih suka berbelanja di minimarket ketimbang di pasar tradisional.
Maka, kehadiran uasaha ritel modern lokal pun sekarang makin banyak dan tersebar di berbagai penjuru Ranah Minang.Â
Tidak saja di Kota Padang sebagai kota terbesar di Sumbar, minimarket lokal juga berjaya di kota-kota kecil kelas kecamatan.
Pelaku UMKM setempat diberi kesempatan menjual produknya di ritel modern tersebut, sehingga ada simbiosis mutualisme antara UMKM dan ritel lokal.
Namun demikian, ada standar tertentu yang harus dipenuhi pelaku UMKM lokal agar produknya diterima minimarket setempat.
Untungnya, dinas yang menangani koperasi dan UMKM di Sumbar aktif melakukan pembinaan dan pendampingan, sehingga produk UMKM bisa memenuhi standar dan dikemas secara baik.