Dalam sebulan terakhir ini, berita terkait Kementerian Keuangan demikian banyak. Berita tersebut sebagian besar bersifat negatif yang menurunkan citra kementerian tersebut.
Jangan mengira yang dimaksud berita hanya yang ditulis oleh media massa atau yang ditayangkan siaran televisi semata-mata.
Sekarang, justru berita yang menyebar dengan cepat melalui media sosial, menjadi yang dominan dalam membentuk opini publik, sehingga menjadi sorotan masyarakat.
Dapat dibayangkan, betapa sulitnya posisi seorang Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Beliau seperti mendapat cobaan bertubi-tubi.
Baru saja beliau merespon atas kasus yang menimpa seorang pejabat di jajarannya, muncul lagi rentetan kasus-kasus yang lain.
Dua instansi di bawah komando Sri Mulyani yang sangat disorot adalah Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai.
Hanya karena ulah anak seorang pejabat di Ditjen Pajak yang menganiaya seorang remaja, kasusnya jadi menggelinding sangat jauh.Â
Akhirnya, boleh dikatakan bahwa telah terjadi krisis kepercayaan masyarakat terhadap Kementerian Keuangan.
Padahal, awalnya "badai" yang menerpa kementerian dimaksud, seperti datang secara tak sengaja, yakni kasus penganiayaan remaja di atas.Â
Kebetulan, dari media sosial diketahui bahwa si pelaku penganiayaan gemar memamerkan gaya hidup mewah.
Tapi, kejengkelan masyarakat terhadap gaya hidup sebagian pejabat, mungkin diam-diam sudah dari dulu ada.
Maka, begitu ketemu momen yang pas, masyarakat, terutama warganet, langsung menguliti harta kekayaan sejumlah pejabat yang dinilai tidak wajar.
Kemudian, Â berita negatif tersebut melebar ke soal gaya hidup pamer kekayaan, soal transaksi pencucian uang, keluarga pejabat yang punya perusahaan, soal rangkap jabatan, dan sebagainya.
Kepercayaan masyarakat yang menurun akibat pemberitaan di media massa dan media sosial, dari sisi manajemen risiko, digolongkan sebagai risiko reputasi.
Untungnya Kementerian Keuangan adalah lembaga pemerintah, bukan perusahaan yang mencari pelanggan.
Jika reputasi yang buruk itu terjadi di sebuah perusahaan, tak pelak lagi, perusahaan bisa tak tertolong, alias bangkrut.
Makanya, di sebuah perusahaan yang bagus manajemen risikonya, risiko reputasi dimitigasi dengan baik, antara lain melakukan beberapa langkah berikut.
Pertama, divisi yang menangani public relation tidak lagi semata-mata membuat press release yang dibagikan pada para jurnalis saat melakukan jumpa pers.
Divisi tersebut harus aktif mengelola akun media sosial resmi atas nama perusahaan untuk menyebarkan citra positif perusahaan dan mendekatkan diri dengan konsumen.
Bahkan, tak sedikit perusahaan yang menggunakan tenaga yang expert di bidang media sosial dan menggunakan jasa influencer yang berkarakter bagus.
Kedua, cepat merespon pemberitaan yang negatif atau merespon keluhan pelanggan, baik melalui media massa maupun yang disampaikan melalui media sosial.
Ketiga, secara periodik menggelar acara temu pelanggan, yang sekaligus sebagai forum pemberian penghargaan bagi pelanggan setia dan meminta masukan untuk perbaikan.
Keempat, mitigasi terbaik tetap dengan melakukan hal-hal yang dinilai mampu memenuhi kebutuhan konsumen, bukan sekadar memoles citra.
Masalahnya, kebutuhan konsumen selalu berkembang, sehingga perusahaan pun dituntut untuk bergerak lincah mendeteksi perubahan selera konsumen.
Akan lain ceritanya bila membahas mitigasi risiko reputasi pada instansi pemerintah. Ada undang-undang yang memaksa, sehingga masyarakat wajib berhubungan dengan instansi tersebut.
Contohnya, sekarang di media sosial banyak beredar imbauan agar masyarakat tidak usah membayar pajak.
Alasannya, percuma saja, karena setoran pajak dari masyarakat akan dikorupsi oleh oknum pejabat pajak.
Hampir bisa dipastikan bahwa imbauan tersebut tidak akan berpengaruh signifikan, karena membayar pajak adalah kewajiban warga negara.
Meskipun demikian, tetap kita harapkan kepada semua aparat pemerintah, terutama di jajaran Kementerian Keuangan, segera melakukan bersih-bersih, agar kepercayaan masyarakat pulih.
Kebetulan saat ini sudah mendekati 31 Maret 2023. Artinya, kewajiban semua wajib pajak untuk menyampaikan laporan SPT 2022 sudah mendekati deadline.
Nah, momen tersebut bisa juga dianggap sebagai ujian untuk melihat apakah terjadi penurunan persentase tingkat kepatuhan wajib pajak.
Mudah-mudahan kekhawatiran di atas tidak terjadi, karena mereka yang tidak patuh terancam sanski yang relatif berat.
Tapi, jika memang terjadi penurunan kepatuhan wajib pajak, diharapkan Kemenkeu sudah punya solusi untuk mengantisipasinya.
Kementerian Keuangan diharapkan tidak sekadar "memaksa" masyarakat memakai tangan kekuasaan.
Namun, perlu meniru cara-cara memitigasi risiko reputasi seperti yang diterapkan di perusahaan-perusahaan besar.Â
Mitigasi terbaik adalah dengan membuktikan bahwa jajaran Kementerian Keuangan sudah menindaklanjuti semua temuan terkait aparatnya yang jadi sorotan publik.
Setelah itu, memagari dengan sistem pengawasan yang lebih baik, agar diyakini kasus serupa tidak akan terulang lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H