Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kecaman Sri Mulyani dan 3 Golongan Gaya Hidup Pejabat

26 Februari 2023   04:42 Diperbarui: 26 Februari 2023   06:25 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus yang melibatkan anak pejabat pemerintah di bidang perpajakan (yang berada di bawah Kementerian Keuangan), yang terjadi baru-baru ini telah menyita perhatian publik.

Selain kasusnya itu sendiri, juga telah merembet ke soal gaya hidup mewah pejabat. Sampai-sampai Menteri Keuangan Sri Mulyani langsung mengecam gaya hidup mewah pejabat bawahannya itu.

Kisahnya bermula dari seorang remaja bernama Mario Dandy Satrio, anak dari seorang pejabat di Direktorat Jenderal Pajak, Rafael Alun Trisambodo.

Mario diduga menganiaya seorang remaja bernama David secara sadis di kawasan Pesanggrahan Jakarta Selatan, yang membuat David tak sadarkan diri, seperti diberitakan Bisnis.com, 23/2/2023.

Dari hal tersebut, publik mengetahui bahwa Mario ternyata gemar memamerkan mobil mewah. Lebih jauh lagi, jumlah harta kekayaan ayahnya pun jadi topik hangat.

Kecaman Sri Mulyani tentu sangat bisa dimaklumi. Tapi, harus diakui, gaji plus tunjangan pejabat jajaran Kemenkeu, lebih khusus lagi di Ditjen Pajak, memang lebih tinggi dibanding yang lain.

Barangkali besarnya tunjangan di atas, dimaksudkan agar mereka yang antara lain bertugas menghimpun setoran pajak dari masyarakat, tidak tergoda berbuat korupsi.

Namun, itu bukan alasan untuk bisa membenarkan gaya hidup mewah. Bagaimanapun juga, aparatur sipil negara, termasuk pejabat sekalipun, adalah pelayan masyarakat.

Sebaiknya, seorang pejabat memberi pemahaman kepada anak-anaknya sejak mereka masih kecil untuk tidak membangga-banggakan jabatan orang tuanya.

Tapi, hal ini menuntut agar si pejabat itu sendiri juga konsisten bergaya hidup biasa-biasa saja. Bukankah anak-anak sekadar meniru orang tua?

Jika si pejabat dan istrinya juga sering mengumbar kepejabatannya di rumah dan memamerkan kekayaan di depan publik, anaknya pun nantinya akan petentang-petenteng.

Terlepas dari kasus di atas, sebetulnya ada 3 golongan pejabat dalam hal menunjukkan gaya hidupnya.

Pertama, pejabat yang bergaya sesuai jabatannya, sesuai dengan gaya rata-rata pejabat di level yang sama. 

Anggapannya, kelompok rata-rata ini adalah pejabat yang menggunakan penghasilannya secara rasional, dalam arti tidak berbelanja di luar kemampuannya.

Mereka juga diasumsikan tidak tergoda untuk korupsi. Gaji, tunjangan, dan fasilitas resmi, sudah cukup untuk memenuhi standar hidupnya.

Tapi, anggapan di atas bisa tidak berlaku di instansi tertentu yang justru secara rata-rata pejabatnya terlihat mewah.

Kalau sudah begini, tentu susah untuk mengubah gaya hidup, karena lingkungannya sudah seperti itu. 

Kedua, pejabat yang bergaya low profile, lebih rendah dari rata-rata gaya hidup pejabat di level yang sama.

Ada seorang pejabat yang tak pernah bercerita apa jabatannya di kantor kepada anak-anaknya ataupun kepada famili dan kerabatnya. Padahalnya jabatannya sudah tinggi.

Yang penting anak-anaknya tahu di mana kantor ayahnya, tapi tak perlu tahu apa jabatannya. Ia sadar, jabatan itu lambat atau cepat akan lepas.

Mereka yang seperti ini, justru biasanya punya kekayaan yang lebih besar dibanding teman satu levelnya (kecuali jika temannya ada yang korupsi diam-diam).

Soalnya, teman-temannya pada boros berbelanja demi gaya hidupnya, sedangkan ia cenderung hemat, meskipun tidak pelit. 

Buktinya tidak pelit, ia dengan gampang membantu orang lain yang kurang beruntung atau beramal untuk rumah ibadah.

Hanya saja, kekayaannya tidak begitu terlihat, karena rata-rata berupa surat berharga seperti obligasi, reksadana, dan tanah di kampungnya.

Mereka bukan tipe yang tergoda membeli rumah mewah dan mobil mewah. Mereka juga terkesan tidak ingin pamer harta, karena penampilannya biasa-biasa saja.

Namun, tanpa gembar-gembor, persiapan mereka untuk masa pensiun lumayan memadai, karena memang sudah direncanakan dengan matang.

Ketiga, pejabat yang bergaya high profile, lebih tinggi dari rata-rata pejabat di level yang sama. Bahkan, ada yang berlagak seolah-olah sudah punya jabatan yang sebetulnya belum didudukinya.

Yang seperti ini, terkadang gaya istri dan anak-anaknya juga lebih dahsyat memamerkan kekayaannya, baik secara langsung maupun di media sosial.

Nah, kembali kepada kecaman Sri Mulyani, tentu bukan dialamatkan kepada kelompok pejabat yang low profile. 

Pasti yang "ditembak" adalah yang high profile. Kelompok ini tak mesti dicurigai sebagai koruptor, kecuali jika ada indikasi ke arah sana.

Tapi, tetap saja, meskipun tidak korupsi, bergaya hidup mewah bukan contoh yang baik. Tepat sekali bila Sri Mulyani mengatakan, hal itu akan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat.

Memang, dengan gaji dan tunjangan yang tinggi di Kemenkeu, tidaklah sulit bergaya mewah bagi pejabatnya, tanpa korupsi sekalipun.

Tentu, maksud mewah di sini adalah dibandingkan dengan rata-rata pejabat kementerian lain di level yang sama dan sama-sama tidak korupsi.

Jangan dibandingkan dengan kelompok crazy rich. Kalau ada pejabat bergaya crazy rich, perlu diselidiki, siapa tahu dari hasil korupsi.

Akhirnya, kesadaran para pejabat sangat diharapkan untuk bergaya hidup yang standar saja. Tak bisa low profile tak masalah, asal jangan high profile.

Percayalah, seorang pejabat dihormati bukan karena kekayaannya, tapi karena prestasinya dalam menjalankan tugas yang dipercayakan kepada mereka.

Kembali ke kasus Mario Dandy, kita lihat saja bagaimana jalannya proses hukum yang harus dijalaninya. Mario sendiri berumur 20 tahun, namun korbannya David masih 17 tahun.

Artinya, secara hukum ada tindakan kekerasan orang dewasa terhadap anak. Usia dewasa dalam sistem hukum kita adalah di atas 18 tahun.

Apalagi, bila pacar Mario yang masih berusia 15 tahun yang diberitakan menjadi pemicu tindak kekerasan itu, ditetapkan sebagai tersangka.

Maka, soal sistem perlindungan anak dan peradilan pidana anak akan ikut menentukan, apakah hukuman yang nanti dijatuhkan akan membuat efek jera agar tak terulang kasus serupa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun