Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kapolda Jambi "Terdampar" di Hutan dan Pengalaman Saya Ikut Outbond

23 Februari 2023   04:59 Diperbarui: 23 Februari 2023   05:08 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Helikopter yang membawa Kapolda Jambi Irjen Pol Rusdi Hartono dan rombongan, diberitakan sejumlah media televisi melakukan pendaratan darurat di hutan, pada Minggu siang (19/2/2023).

Kapolda berangkat dari kota Jambi menuju kota Sungai Penuh. Pendaratan darurat dilakukan di kawasan hutan Bukit Muaro Empat, Kabupaten Kerinci.

Untungnya, Kapolda dan semua yang ada di helikopter dilaporkan dalam keadaan selamat. Hanya saja, untuk proses evakuasi membutuhkan waktu yang lama.

Kapolda Jambi sendiri dilaporkan menderita cedera patah tangan. Demikian pula anggota rombongan lain, ada yang mengalami luka-luka.

Tempat pendaratan demikian sulit untuk diakses, sehingga meskipun titik koordinatnya sudah diketahui, pada hari Minggu malam (19/2/2023), kapolda dan rombongan terpaksa menginap di sana.

Tapi, bahan makanan dan selimut sudah didapatkan mereka yang terperangkap di lokasi yang terjal itu, yang dijatuhkan melalaui helikopter bantuan. 

Bahkan, pada Senin malam (20/2/2023), rombongan masih terpaksa menginap, meskipun pohon-pohon di sekitar lokasi pendaratan sudah ditebang agar tidak mengganggu evakuasi jalur udara.

Evakuasi pada Senin sore tak bisa dilakukan karena terhalang cuaca yang buruk, seperti diberitakan Kompas.com (20/2/2023).

Namun, diberitakan bahwa sudah ada tenaga perawat yang sampai di TKP untuk melakukan pengobatan sebisa mungkin terhadap para korban.

Baru pada Selasa siang (21/2/2023), dengan aksi heroik dan sangat menegangkan dari regu penolong, Kapolda Jambi berhasil dievakuasi. 

Demikian juga anggota rombongan lainnya, yang semuanya termasuk kapolda, pilot dan kopilot berjumlah 8 orang, berhasil diselamatkan.

Kapolda sendiri memperlihatkan jiwa besarnya. Ketika tim penyelamat mau mendahulukan mengevakuasi kapolda mengingat ia patah tangan, kapolda meminta agar anak buahnya yang didahulukan.

Seorang personil TNI bergelantungan memegang erat tandu darurat yang mengangkut Kapolda Jambi, agar bisa dinaikkan dengan tali ke helikopter yang berputar-putar di atasnya.

Begitulah berita yang saya ikuti dari hari ke hari melalui siaran berita televisi. Semoga semua korban yang sekarang tengah dalam perawatan, segera pulih kembali.

Bagi rombongan di atas, pengalaman terperangkap  selama 2 malam di tengah hutan, mungkin jadi pengalaman yang sangat menyiksa.

Saya jadi teringat dengan "penyiksaan" yang saya alami saat tidur semalaman di hutan seorang diri. 

Jangan salah duga, saya bukan anggota komunitas penjelajah atau petualang. Bahwa saya termasuk pencinta alam hanya sekadar menikmati keindahan tempat wisata saja. 

Seumur hidup saya belum pernah mendaki hingga ke puncak gunung. Kalau sekadar mendaki bukit, beberapa kali pernah saya lakukan saat remaja.

Adapun yang ingin saya ceritakan terjadi pada tahun 2002. Saat itu, di tempat saya bekerja, untuk bisa promosi dari eselon 3 ke eselon 2, harus mengikuti program pendidikan selama 3 bulan.

Eselon di atas merupakan ketentuan internal yang berlaku di perusahaan tempat saya berkerja saja, jangan samakan dengan eselon di aparatur sipil negara (ASN).

Pada minggu pertama dari program tersebut, semua peserta wajib mengikuti kegiatan outbond, yang menurut saya betul-betul menjadi arena uji nyali.

Memang, ketika itu, outbond lagi trend bagi para eksekutif perusahaan, karena dianggap mampu membentuk karakter tangguh seorang calon pemimpin.

Pemandu acara adalah mereka yang sudah dapat sertifikat khusus, rata-rata sudah berpengalaman sebagai pemandu outbond.

Seperti yang memandu saya dan teman-teman satu angkatan pendidikan saat itu, semuanya tergabung dalam suatu perusahaan pengelola outbond.

Mereka adalah alumni Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri. Wanadri sendiri berpusat di Bandung dan sudah terkenal sejak dulu.

Seingat saya, rangkaian acara yang saya ikuti dimulai dengan berkumpul dan menginap satu malam di suatu tempat semacam asrama, tak jauh dari Waduk Jatiluhur, Jawa Barat.

Besoknya, setelah berolahraga pagi dan sarapan, masing-masing kami naik kano (1 kano untuk 2 orang) untuk berkemah di sebuah lokasi di sisi lain dari waduk tersebut, selama beberapa malam.

Teman-teman saya rata-rata menikmati main kano, tapi tidak begitu bagi saya. Itu karena saya berpikir negatif, takut kanonya terbalik.

Pada hari-hari berikutnya, banyak pengalaman yang bagi saya terasa mengerikan. Beberapa teman lain saya lihat juga ketakutan.

Kecuali beberapa orang teman yang sepertinya menikmati kegiatan olah fisik yang terkesan ekstrim itu.

Saya maksudkan dengan ekstrim, karena orang biasa sangat jarang melakukan. Tapi, untuk anggota militer dan para penjelajah alam mungkin tidak asing lagi.

Bagi saya itulah pengalaman pertama dan semoga yang terakhir. Contoh yang saya maksud dengan ekstrim itu antara lain merayap di atas tali yang terbentang lumayan tinggi.

Ada lagi aktivitas meloncat dari satu tempat yang tinggi ke tempat tinggi lainnya. Ya, anggap saja mirip Tarzan di film.

Memang, ketika merayap itu pakai alat pengaman, yang jika terjatuh, hanya menggantung saja, tidak terjerembab ke tanah.

Hiking menjadi satu-satunya kegiatan yang bisa saya nikmati, karena saya lumayan sering berjalan kaki dan senang melihat pemandangan indah khas pedesaan.

Keuntungan ikut outbond, agar peserta sadar punya kemampuan di luar dugaannya sendiri, asal percaya diri dan mampu bekerja sama dengan teman satu grup.

Tapi, menurut saya ada juga negatifnya, yakni bisa membuat trauma seseorang. Apalagi, bagi yang punya penyakit tertentu, sebaiknya tidak mengikuti outbond.

Nah, pada malam terakhir sebelum hari penutupan, itulah saatnya tidur sendiri di tengah hutan dengan dibekali peralatan tenda kecil, tali, busa kecil untuk tidur, senter, dan peralatan lainnya.

Semuanya bisa dimuat dalam sebuah ransel, termasuk ransum makanan ala militer dan minuman. Tenda kecil dipasang dengan mengikatkan tali di empat sisi ke pohon yang ada.

Lokasi masing-masing peserta ditunjukkan oleh pemandu pada sore harinya. Jarak antar peserta cukup jauh dan masing-masing tidak tahu di mana temannya berada.

Setelah saya tebarkan garam sekeliling tenda kecil agar tidak ada ular mendekat, saya makan malam, lalu mencoba untuk tidur. O ya, telpon genggam harus dikumpulkan kepada pemandu.

Saya sama sekali tidak tertidur dan rasanya lama sekali menunggu pagi datang. Itulah "penyiksaan" yang tak ingin lagi saya ulangi.

Tapi, adakalanya kita tidak mengetahui misteri kehidupan. Siapa yang menyangka Kapolda Jambi dengan rombongannya bakal terdampar 2 malam di tengah hutan?

Kalau sudah begitu, persoalannya bukan soal tersiksa atau bukan, tapi bagaimana agar bisa bertahan hidup sambil berharap ada orang lain yang datang membantu.

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun