Ada fenomena menarik akhir-akhir ini, yakni pasangan suami istri (pasutri) yang "beraliran" childfree, tak sungkan lagi menyuarakan pahamnya itu.
Bahkan, mereka seperti berkampanye di akun media sosialnya, seolah-olah mengajak pasutri lain mengikuti jejaknya.
Padahal, di zaman dulu, mereka yang sudah menikah sekian tahun dan tetap belum punya anak, akan malu bila ditanya: "kapan punya momongan?", oleh kerabat atau temannya.
Artinya, mereka yang belum juga dikaruniai anak oleh Yang Maha Kuasa, merasa kehidupannya belum lengkap.
Child free sendiri bisa diartikan sebagai tindakan pasutri yang dengan sengaja memilih untuk tidak punya anak sama sekali.
Nah, sekiranya nanti demikian banyak pasutri yang terpengaruh dan ikut-ikutan child free, banyak hal yang terancam di masa depan.
Sekolah-sekolah dan kampus-kampus akan sepi murid atau mahasiswa. Lalu, siapa yang akan melanjutkan pembangunan di negara kita?
Apakah kita perlu menaturalisasi para remaja dari berbagai belahan dunia? Tapi, bisa jadi di negara lain pun juga banyak penganut child free.
Artikel ini lebih fokus pada dampak kepada dunia bisnis, jika para pasutri ramai-ramai tak mau punya anak.
Bagi yang sering ke mal-mal di Jakarta, tentu tahu bahwa salah satu strategi pengelola mal agar ramai pengunjung, adalah dengan menyediakan arena bermain anak-anak.
Jika anak-anak minta ke tempat bermain, pasti akan ditemani orang tua. Sehingga, pengelola mal berharap orang tuanya akan singgah di berbagai tenant yang lain.