Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Jika Banyak Pengikut Childfree, Bisnis Apa Saja yang Hancur?

21 Februari 2023   04:42 Diperbarui: 21 Februari 2023   09:26 1505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bisnis dengan target pasar anak-anak|dok. kabarbisnis.com

Ada fenomena menarik akhir-akhir ini, yakni pasangan suami istri (pasutri) yang "beraliran" childfree, tak sungkan lagi menyuarakan pahamnya itu.

Bahkan, mereka seperti berkampanye di akun media sosialnya, seolah-olah mengajak pasutri lain mengikuti jejaknya.

Padahal, di zaman dulu, mereka yang sudah menikah sekian tahun dan tetap belum punya anak, akan malu bila ditanya: "kapan punya momongan?", oleh kerabat atau temannya.

Artinya, mereka yang belum juga dikaruniai anak oleh Yang Maha Kuasa, merasa kehidupannya belum lengkap.

Child free sendiri bisa diartikan sebagai tindakan pasutri yang dengan sengaja memilih untuk tidak punya anak sama sekali.

Nah, sekiranya nanti demikian banyak pasutri yang terpengaruh dan ikut-ikutan child free, banyak hal yang terancam di masa depan.

Sekolah-sekolah dan kampus-kampus akan sepi murid atau mahasiswa. Lalu, siapa yang akan melanjutkan pembangunan di negara kita?

Apakah kita perlu menaturalisasi para remaja dari berbagai belahan dunia? Tapi, bisa jadi di negara lain pun juga banyak penganut child free.

Artikel ini lebih fokus pada dampak kepada dunia bisnis, jika para pasutri ramai-ramai tak mau punya anak.

Bagi yang sering ke mal-mal di Jakarta, tentu tahu bahwa salah satu strategi pengelola mal agar ramai pengunjung, adalah dengan menyediakan arena bermain anak-anak.

Jika anak-anak minta ke tempat bermain, pasti akan ditemani orang tua. Sehingga, pengelola mal berharap orang tuanya akan singgah di berbagai tenant yang lain.

Tentu, jika kelak anak-anak sudah semakin sedikit, bisnis arena permainan bagi anak-anak akan bangkrut.

Tidak hanya itu, secara umum, ada banyak sekali produk dan jasa yang berkaitan dengan kebutuhan ibu hamil, kebutuhan bayi, anak-anak, dan para remaja, yang akan bertumbangan.

Tulisan ini berupaya menginventarisir semampunya, meskipun yakin masih banyak lagi jenis bisnis yang tak terungkapkan.

Pertama, yang akan terancam tak punya pekerjaan adalah pekerja di bidang kesehatan ibu dan anak.

Hal itu dimulai dari dokter spesialis kandungan, bidan, rumah sakit bersalin atau klinik bersalin, dokter anak, dan paramedis yang terkait dengan semua itu.

Termasuk pula dalam kelompok ini mereka yang memakai cara tradisional, seperti dukun beranak, ahli pijat bayi, dan sebagainya, yang juga akan sepi job.

Kedua, industri pakaian yang berkaitan, seperti baju ibu hamil dan baju bayi. Termasuk pula popok bayi sekali pakai dan tas perlengkapan bayi.

Untuk anak-anak, juga membutuhkan baju anak dengan berbagai model, termasuk pula sepatu dan akseosrisnya.

Mata rantai industri pakaian tersebut cukup panjang, mulai dari penyedia bahan baku, buruh pabrik, hingga pedagang grosir dan eceran.

Ketiga, bisnis yang berkaitan dengan produk susu formula dan Makanan Pendamping ASI (MPASI). ASI maksudnya air susu ibu.

Termasuk pula di sini perlengkapan menyusui seperti pompa ASI dan cooler bag untuk menyimpan ASI. Ada pula perlengkapan makanan pendamping ASI, seperti piring, sendok, mangkok.

Keempat, lapangan kerja bagi para pengasuh bayi yang bekerja secara langsung di rumah majikannya, dan juga bisnis tempat penitipan bayi atau anak-anak (daycare).

Kelima, yang berkaitan dengan pendidikan anak-anak seperti playgroup (kelompok bermain) dan taman kanak-kanak. Hal ini termasuk pula guru dan peralatan yang digunakan.

Ingat pula, beberapa tahun setelah sekolah anak usia dini tak punya murid, giliran SD yang kosong. Selanjutnya giliran SMP, SMA, bahkan sampai perguruan tinggi.

Lembaga pendidikan jarang disebut sebagai lembaga bisnis. Tapi, faktanya bagi penegelola sekolah swasta tak bisa melepaskan diri dari hitung-hitungan bisnis.

Keenam, yang berkaitan dengan mainan anak-anak, dari mobil-mobilan, boneka, hingga arena khusus seperti yang ada di mal-mal.

Ketujuh, bisnis yang berkaitan dengan penjualan kereta dorong bayi, alat gendongan bayi, dan kasur bayi.

Kedelapan, industri yang memproduksi perlengkapan mandi dan toiletries khusus bayi, beserta jaringan penjualannya.

Itulah beberapa contoh bisnis yang diperkirakan akan bangkrut bila gerakan child free makin besar pengikutnya.

Ternyata, ada banyak bisnis atau banyak perusahaan dan tenaga kerja yang menggantungkan kehidupannya sekeluarga di jenis-jenis usaha di atas.

Jika dihitung-hitung, nilai bisnisnya pasti sangat besar, termasuk setoran pajak yang berkaitan dengan bisnis tersebut ke kas negara.

Sekarang, rata-rata satu keluarga hanya punya 2-3 orang anak, bukan jumlah yang banyak seperti puluhan tahun lalu, di mana satu keluarga punya 7-9 anak.

Justru karena anaknya sedikit, orang tua sekarang cenderung boros membelikan berbagai produk dan jasa yang diperlukan bayi dan anak-anak.

Ada kesan, apapun yang terbaik bagi anak, akan diupayakan orang tua, meskipun penghasilannya tidak besar.

Makanya, orang tua berlomba-lomba memasukkan anaknya ke sekolah favorit. Yang lebih antusias itu orang tuanya, lebih bersemangat ketimbang anaknya sendiri.

Akankah semuanya tinggal cerita masa lalu, ketika puluhan tahun mendatang, para pasutri kompak menganut gaya hidup child free?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun