Perppu Cipta Kerja hingga sekarang masih dipermasalahkan oleh sejumlah serikat pekerja. Ada banyak hal yang digugat, di antaranya terkait dengan kepastian nasib para pekerja outsourcing.
Dilihat dari sisi pekerja, jelas bahwa status pekerja tetap di sebuah instansi atau perusahaan, menjadi idaman banyak para pencari kerja.
Pekerja tetap tersebut akan menerima remunerasi, termasuk berbagai tunjangan dan bonus yang lebih besar ketimbang kelompok pekerja lainnya.
Di bawah pekerja tetap, ada yang namanya pekerja kontrak. Dalam hal ini pekerja dikontrak oleh perusahaan tempat mereka bekerja selama masa tertentu.
Pada lapis terbawah ada pekerja outsourcing, yang juga dikontrak untuk masa tertentu, namun bukan langsung oleh perusahaan tempat mereka bertugas.
Dalam hal ini terdapat hubungan segitiga antara perusahaan penyedia jasa pekerja outsourcing, si pekerja itu sendiri, dan perusahaan tempat si pekerja bertugas sehari-hari.
Antara perusahaan pengguna tenaga kerja dengan perusahaan penyedia tenaga kerja, punya kontrak tersendiri.
Jadi, perusahaan pengguna seolah-olah menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan penyedia tenaga kerja, dengan membayar secara gelondongan.
Sedangkan pembayaran upah kepada masing-masing pekerja outsourcing, dilakukan oleh perusahaan penyedia tenaga kerja.
Bisa dibayangkan, bagaimana perasaan pekerja outsourcing di tengah rekan kerjanya yang pekerja tetap. Mereka merasa dianaktirikan.
Ambil contoh di sebuah bank. Petugas yang melakukan perawatan mesin ATM kebanyakan adalah outsourcing.Â
Namun, yang memberikan instruksi atau yang menjadi pengawas adalah pekerja tetap yang membidangi operasional bank.
Ketika pekerja tetap lagi berbahagia membicarakan bonus yang baru saja diterimanya, pekerja outsourcing hanya gigit jari menahan rasa iri.
Ada perusahaan besar yang sekitar setengah dari jumlah sumber daya manusianya terdiri dari pekerja outsourcing.
Tentu, dengan komposisi pekerja seperti itu, perusahaan sangat diuntungkan, karena menghemat biaya tenaga kerja demikian besar.
Soalnya, begitu seorang pekerja kontrak atau outsourcing dijadikan pekerja tetap, maka cukup besar dana yang dikeluarkan perusahaan atas perubahan status itu.
Tidak hanya, jumlah gajinya yang lebih besar, tapi juga wajib menyisihkan dana buat diterima nanti saat si pekerja tetap memasuki masa pensiun.
Selain nantinya menerima manfaat pensiun bulanan, pekerja tetap lazimnya juga menerima dana yang bersifat lumpsum (dibayar sekaligus saat awal pensiun).
Nah, sekarang coba lihat bagaimana remunerasi yang diterima para pejabat perusahaan kelas menenagah ke atas di negara kita.
Gaji, tunjangan dan tantiem anggota direksi dan komisaris berbeda bagai bumi dan langit, jika dibandingkan dengan pekerja tetap level bawah, apalagi dengan pekerja kontrak dan outsourcing.
Memang, ini bukan perbandingan yang apple to apple, mengingat kompetensi, wewenang, dan tanggung jawabnya juga sangat berbeda.
Namun, sebagai informasi saja, di sebuah perusahaan kelas menengah ke atas yang berskala nasional, seorang CEO bergaji sekitar Rp 300 juta sebulan, bukan hal yang langka.
Yang lebih membuat orang banyak terheran-heran bukan soal gaji itu. Melainkan, besarnya tantiem tahunan, yakni bagian laba perusahaan yang dijadikan bonus bagi direksi dan komisaris.
Karena labanya sudah dalam hitungan triliunan rupiah, maka dengan tantiem sebesar Rp 10 miliar, sudah biasa bagi seorang anggota direksi.
Memang, bagian laba yang terbesar dibagikan sebagai dividen (hak pemegang saham atas laba perusahaan), meskipun juga ada sebagian laba yang ditahan sebagai modal perusahaan.
Nah, bila seorang tenaga kontrak hanya digaji sebesar upah minimum yang sekitar Rp 4 juta per bulan, silakan hitung sendiri, berapa perbandingan gaji tertinggi dan terendah.
Bagi perusahan yang sudah berstatus "terbuka" (biasa disingkat dengan "Tbk" yang dicantumkan di belakang nama perusahaan), mulai ada transparansi.
Perusahaan terbuka artinya yang sahamnya bisa dimiliki publik melalui bursa saham, di Indonesia disebut dengan Bursa Efek Indonesia (BEI).
Nah, para pemegang saham, meski hanya punya 1 lot (100 lembar) yang bisa jadi nilai totalnya tidak sampai Rp 1 juta, berhak mendapatkan laporan keuangan lengkap perusahaan.
Di laporan lengkap yang disebut annual report, terdapat uraian mengenai perbandingan gaji tertinggi dan yang terendah.
Masalahnya, jumlah perusahaan yang sudah go public tersebut sangat sedikit dibanding semua perusahaan yang ada di negara kita.
Toh, bagi pekerja outsourcing yang meskipun bekerja di perusahaan terbuka, tetap sulit memperoleh laporan keuangan perusahaan.
Berbeda dengan pekerja tetap, bisanya mereka mendapat saham dari program ESOP (employee stock ownership program).
Sehingga, jika para pekerja tetap di perusahaan terbuka mau berusaha melihat annual report, relatif masih mudah.
Jadi, berbicara soal transparansi gaji, relatif sulit dibuka pada pekerja tidak tetap. Namun, niat baik dari manajemen sangat diperlukan untuk lebih terbuka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H