Namun, sekadar berandai-andai saja, jika RE dihukum 12 tahun, dan sang kekasih membuktikan pada akhirnya memang setia menanti, ini merupakan hal yang pantas diapresiasi.
Memang, yang namanya saling mencintai, begitulah seharusnya. Kekuatan cinta jauh lebih dahsyat daripada sekadar menanti 12 tahun.
Masalahnya, ketika logika atau akal sehat sudah berbicara, cinta biasanya terpaksa mengalah.Â
Maka, tak usah heran, jangankan pasangan yang masih dalam tahap pacaran, suami istri saja bisa berpisah, gara-gara salah satu pihak dihukum penjara.
Katakanlah ada seorang suami yang dihukum karena memang terbukti melakukan tindak kriminal. Tak usahlah 12 tahun, cukup 5 tahun saja.
Tapi, karena istrinya berpikir logis, mempertimbangkan nasib 2 anak balitanya yang perlu diberi makan, ia mantap memilih bercerai.
Dengan demikian, si istri lebih leluasa untuk bergerak mencari nafkah, termasuk menerima pinangan kalau ada laki-laki baik berpenghasilan cukup yang mau menikahinya.
Jangan buru-buru mencap jelek istri yang menggugat cerai suaminya yang sedang dihukum penjara sekian lama.
Bedakan dengan kasus RE yang kasusnya jelas bahwa RE menurut anggapan umum hanya sekadar taat perintah atasan.
Namun, bayangkan betapa kecewanya seorang istri atau seorang kekasih, ketika merasa tertipu, ternyata suaminya atau pacarnya adalah seorang penjahat.
Kalau si wanita sedang bucin, ya bisa saja tetap memilih setia, dengan harapan si suami atau si pacar akan berubah kelakuannya setelah keluar dari penjara.