Bergabungnya Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil ke Partai Golkar cukup ramai diberitakan media massa. Ridwan Kamil tentu telah berpikir matang sebelum memutuskan menjatuhkan pilihan.
Partai lain boleh saja cemburu, tapi bagaimanapun mereka harus menghargai keputusan gubernur yang populer di media sosial itu.
Foto-foto saat Ridwan Kamil dipasangkan jaket kuning memancarkan aura kebahagiaan bagi Ridwan Kamil. Apalagi, bagi Airlangga Hartarto selaku Ketua Umum Golkar.
Jelas Golkar beruntung, ibarat mendapat durian runtuh. Soalnya, karena aktif di media sosial itu tadi, pengikut Ridwan dari kalangan anak muda di seantero tanah air lumayan banyak.
Sepertinya, Ridwan Kamil memang ditugaskan untuk menggarap para pemilih muda yang juga menjadi rebutan dengan partai-partai lain.
Tapi, kalau dihitung-hitung dengan banyaknya mantan kader Partai Golkar yang hengkang, sebetulnya Golkar masih defisit dalam soal jumlah kader yang berkualitas atau berpengaruh.
Bukankah cukup banyak berdiri partai baru setelah dikecewakan Golkar atau setelah kalah bersaing memperebutkan kursi ketua umum Golkar?
Partai Hanura, Partai Gerindra, Partai Nasdem, adalah contoh partai yang dibentuk sebagai pecahan Golkar.
Jelas, masing-masing partai baru di atas membawa gerbongnya untuk ramai-ramai hengkang dari Golkar, yakni gerbong Wiranto, Prabowo, dan Surya Paloh.
Kemudian, ada mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Tuan Guru Bajang yang kader Golkar, sekarang bergabung ke Partai Perindo.
Kader Golkar yang cukup lama (2001-2015), justru setelah jadi kader Gerindra, Erzaldi Rosman berhasil terpilih sebagai Gubernur Bangka Belitung.
Ada juga kader Golakr yang setelah pindah menjadi kader Nasdem, sekarang menjadi Gubernur NTT, yakni Victor Laiskodat.
Memang, ada pula mantan Gubernur Jawa Timur Soekarwo (lebih dikenal dengan Pakde Karwo) yang bolak baik, dari Gokar ke Demokrat, lalu sekarang balik lagi ke Golkar.
Kader asli Golkar yang memenangkan pilgub relatif sedikit, antara lain Ansar Ahmad (Kepulauan Riau) dan Rohidin Mersyah (Bengkulu).
Bahwa Golkar juga mendukung tokoh non kader untuk jadi gubernur yang diusung bersama partai lain, itu lain cerita.
Tapi, satu hal yang mesti jadi perhatian parpol, tidak hanya Golkar, betapa soal pengkaderan dari bawah masih lemah di banyak partai.
Kader yang sudah punya nama sosoknya itu-itu saja, tapi mereka bisa jadi kutu loncat dengan berpindah-pindah partai.
Merekrut artis atau tokoh publik, termasuk pejabat seperti Ridwan Kamil di atas, jadi strategi jalan pintas yang lazim ditempuh.
Langkanya kader parpol yang berkualitas membuat larisnya tokoh non parpol yang diusung oleh parpol sebagai calon kepala daerah, dengan pertimbangan tokoh itu punya popularitas dan kapabilitas.
Ridwan Kamil sewaktu pilgub Jabar dan Anies Baswedan sewaktu pilgub DKI adalah tokoh non parpol.
Namun, harus diakui, beberapa kader asli partai sebagian akhirnya terpilih sebagai gubernur.
Sebagai contoh, PDIP berhasil menempatkan kadernya sebagai gubernur yakni di Jawa Tengah, Bali, dan Sulawesi Utara.
Ada lagi kader PKS yang terpilih jadi gubernur di Sumbar dan NTB. Juga, kader PKB di Jatim.
Nasdem, selain punya kader yang jadi gubernur NTT, juga punya Herman Deru yang jadi gubernur Sumsel.
Gubernur Papua yang sekarang lagi ditahan KPK, adalah kader Partai Demokrat, statusnya dinonaktifkan.
Intinya, sebaiknya parpol mulai lebih banyak menciptakan kader sendiri, ketimbang berburu tokoh publik yang sudah jadi dan gampang pindah partai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H