Soalnya, mayoritas para pekerja berdomisili bukan di Provinsi DKI Jakarta, melainkan di kawasan pinggiran yang sudah masuk Provinsi Jawa Barat atau Provinsi Banten.
Tak heran, karena mereka rata-rata bekerja di tengah kota Jakarta, tentu mereka berangkat saat subuh dan sampai kembali di rumah di malam hari.
Bisa dikatakan bahwa mereka setiap hari kerja tidak melihat matahari. Antar sesama pekerja sering bercanda mengomentari nasib mereka yang "tua di jalan".
Waktu tidur para pekerja relatif kurang. Akibatnya, tak jarang mereka tertidur dalam kendaraan umum yang sedang melaju di jalan.
Para pekerja juga harus mengeluarkan ongkos transportasi yang relatif besar. Bagi yang mengendarai kendaraan sendiri, karena macet, pemakaian bahan bakar jadi boros.
Untuk yang naik kendaraan umum, tarif KRL atau Transjakarta memang murah. Tapi, jadi mahal karena disambung lagi dengan ojek, karena rumah tidak berdekatan dengan stasiun atau halte.
Belum lagi kalau dihitung biaya makan siang. Betul, saat WFH pun juga makan. Tapi, makan di rumah jelas lebih murah.
Tahu sendiri kalau makan di rumah makan, harganya tidak murah. Bisa saja pesan makan melalui office boy (OB), tapi OB pun perlu diberi tips.
Sebetulnya, ada banyak tempat makan yang relatif murah, demikian pula jika hanya memesan menu yang terbilang sederhana.
Masalahnya, karena berkumpul dengan teman-teman kantor, gengsi juga kalau cari makan yang murah meriah.
Faktor ikut-ikutan teman, membuat pengeluaran jadi membengkak. Umpamanya, pukul 10 pagi memesan kopi kekinian yang harganya lebih mahal dari semangkok bakso.