Apakah pengemis bisa dikatakan sebagai sebuah profesi seperti jenis pekerjaan lainnya? Bisa ya, bisa tidak, tergantung dari sisi mana melihatnya.
Secara formal, jelas pengemis bukanlah profesi. Bahkan, pengemis dianggap sebagai penyakit sosial yang harus dibasmi.
Tapi, faktanya ada saja pengemis yang bisa hidup mapan dan setia dengan "profesi" tersebut. Makanya, mereka menolak diberi pekerjaan.
Itu kalau kita berbicara pengemis berpola konvensional yang menadahkan tangan di emperan toko, di jembatan penyeberangan, atau di tempat terpasang lampu lalu lintas.
Nah, sekarang lagi marak fenomena orang-orang yang mengemis online melalui aplikasi TikTok.
Pengemis online tersebut membuat sensasi, antara lain dengan aksinya melakukan mandi lumpur tampil secara live, demi mendapatkan imbalan dari penontonnya.
Jauh sebelum itu, "pengemis" yang memanfaatkan berbagai aplikasi media sosial juga sudah merupakan hal biasa.
Awalnya memang ada semacam aktivis sosial yang menggalang dana untuk didonasikan kepada mereka yang layak untuk menerima bantuan.
Tapi, belakangan ini makin kabur batas antara penggalangan dana untuk aktivitas sosial dengan mereka yang bertujuan untuk mengemis.
Bahkan, diduga ada yang berkedok yayasan yang katanya bergerak dalam pengumpulan zakat, infak dan sedekah.
Padahal, "yayasan" tersebut diduga memanfaatkan sebagian donasi yang diterimanya untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok mereka.
Yayasan abal-abal itu rutin mengirimkan semacam daftar agenda yang akan mereka lakukan sambil memohon donasi dari penerima pesan.
Diduga yayasan itu mencari nomor ponsel dari banyak orang secara diam-diam, mungkin dengan mencuri data atau membeli data secara ilegal.
Nah, jangan heran kalau kita yang tak mengenal para peminta donasi itu, tiba-tiba rutin menerima pesan untuk minta sumbangan.
Karena mereka mendapatkan nomor ponsel secara diam-diam, ada saja penerima pesan yang tidak respek. Bahkan, ada yang langsung memblokir nomor tersebut.
Tapi, tak sedikit yang langsung tersentuh hatinya, karena pada umumnya orang Indonesia sangat gampang tersentuh.
Makanya, bangsa kita mendapat status yang paling dermawan di dunia, meskipun level kesejahteraan kita belum bisa disebut sebagai negara kaya.
Lalu, berderma melalui media sosial yang sedikit banyak ada unsur "pamer kebaikan" menjadi tren dalam beberapa tahun terakhir ini.
Nah, itulah yang dimanfaatkan dengan bermunculannya konten "drama kehidupan" yang memilukan, sehingga menggugah para dermawan memberikan bantuan.
Bagi yang mengemis online, sepertinya tak ada perasaan malu. Pengemis konvensional masih ada yang malu dengan mengubah penampilan seolah-olah cacat.
Sehingga, tidak dikenal oleh tetangganya sendiri. Apalagi, mereka beroperasi jauh dari tempat tinggal mereka.
Tapi, pengemis online karena tampil di dunia maya, bisa jadi malah merasa lebih keren, dan pasti tidak mau disamakan dengan pengemis konvensional.
Cepatnya respon netizen membuat si pengemis online makin keenakan dan petualangan mencari sensasi yang lebih dramatis lagi terus berlanjut.
Selagi dana masih mengalir dari para donatur kepada si pengemis online, selama itu pula fenomena seperti itu belum akan berakhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H