Tebet Eco Park (selanjutnya saya singkat menjadi TEP) yang berada di Jakarta Selatan, relatif dekat dari rumah saya. Dengan jalan kaki pun, sekitar 10-15 menit sudah sampai.
Tapi, justru karena dekat itu, saya tak begitu antusias untuk main ke sana. Saya berpikir, tidak perlu ikut ramai-ramai seperti warga dari kawasan lain, bahkan banyak yang dari luar Jakarta.
Begitulah yang saya lihat bila melewati salah satu sisi TEP, pada saat beberapa bulan pertama setelah Anies Baswedan meresmikannya pada 24 April 2022.
Sekedar lewat saja, memang sering saya lalukan, tapi untuk masuk ke dalam taman, nanti dulu. Toh, kapan-kapan bisa saya ke sana, pas agak sepi sedikit.
Ketika itu, saya melihat seperti adanya euforia, terlalu ramai warga yang membawa keluarganya menikmati berbagai fasilitas permainan di TEP.
Tak heran, jalan di sekitar TEP menjadi macet cukup panjang. Terkadang terpaksa ditutup jalannya oleh petugas.
Saking padatnya, TEP akhirnya untuk sementara tidak lagi menerima pengunjung, setelah sekitar 2 bulan dilanda euforia.Â
Alasan Pemprov DKI Jakarta, penutupan TEP untuk direvitalisasi. Mungkin agar bisa ditata kembali, baik secara fisik, maupun membenahi tata cara berkunjung.
Betul juga, setelah cukup lama ditutup (sekitar 2 bulan), tata cara yang harus dipenuhi calon pengunjung menjadi lebih tertib.
Mereka yang berminat wajib mendaftar dulu di aplikasi khusus bernama "Jaki" yang disediakan Pemprov DKI Jakarta.
Seorang pendaftar bisa menyertakan teman atau saudaranya, maksimal 5 orang, termasuk si pendaftar. Tak ada dipungut bayaran untuk masuk TEP.
Jika kuota pengunjung masih tersedia pada hari dan sesi yang didaftarkan, akan ada konfiramsi berupa barcode yang akan di-scan di gerbang masuk TEP.
Ada dua sesi setiap hari, yakni sesi pagi (pukul 07.00 sampai 11.00), dan sesi sore (13.00 sampai 17.00).
Kuota pengunjung maskimal sebanyak 4.000 orang per sesi (Senin hingga Jumat) dan 5.000 orang untuk Sabtu-Minggu.
Dengan taman yang luas, kuota yang ditetapkan tidak membuat TEP jadi penuh sesak seperti sebelum direvitalisasi.
Nah, akhirnya kesempatan bagi saya datang juga, karena membawa saudara dari kampung yang minta diantar ke TEP.
Saya memilih hari kerja sesi pagi pada pertengahan Januari lalu, dan merasa beruntung karena pengunjung relatif sedikit dan cuaca cerah.
Anak-anak yang memanfaatkan arena permainan tidak banyak, karena memang bukan hari libur.
Tapi, saya merasa nyaman dengan banyaknya pengunjung berusia setengah baya yang datang untuk jogging hingga mandi keringat.
Meskipun tidak berpakaian olahraga, saya akhirnya ikut-ikutan berolahraga jalan kaki mengelilingi TEP, termasuk berjalan di atas jembatan penghubung yang cukup panjang.
Sebelum jadi TEP, dulunya merupakan dua taman yang tidak saling terhubung, meskipun hanya dipisahkan oleh jalan raya selebar sekitar 6 meter.
Sekarang, ada jembatan melingkar yang artistik sebagai penghubung kedua taman dan menjadi tempat favorit para pengunjung untuk berfoto.
Ketika dulu saya sering lewat, saya mengira jembatan itu dibuat dari potongan pohon bambu, tapi setelah saya menjajal sendiri, ternyata terbuat dari besi.
TEP terdiri dari beberapa bagian, yakni TEP Plaza yang terletak di depan gerbang utama taman, dan Taman Tematik di bawah jembatan penghubung antara sisi utara dan selatan.
Ada lagi area untuk mengakomodasi kegiatan publik yang datang berkelompok (Community Lawn) dan Area UMKM. Kedua area ini berada di sisi utara.
Sedangkan di sisi selatan ada wetland broadwalk, community garden, forrest buffer, dan taman bermain anak.
Bagi warga ibu kota atau warga daerah yang lagi di Jakarta, jika ingin sedikit bersantai sambil cari keringat, cocok berkunjung ke TEP.
Semoga ke depan, pepohonannya makin rimbun yang dirawat dengan baik, dan pengunjung tertib dalam membuang sampah, sehingga TEP bisa tetap memikat sampai jangka waktu lama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H