Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

3 Alasan Kenapa Karyawan Tak Sadar Gajinya Kena Pajak

5 Januari 2023   05:30 Diperbarui: 5 Januari 2023   07:27 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Keuangan Sri Mulyani|dok. Kompas.com/Haryantipuspasari

Menteri Keuangan Sri Mulyani baru-baru ini mengumumkan bahwa mulai tahun ini, terhadap penerima gaji sebesar Rp 5 juta per bulan, terkena pemotongan pajak sebesar 5 persen.

Pengumuman tersebut menuai tanggapan yang beragam dari masyarakat, khususnya pengguna media sosial.

Sebagian tanggapan tersebut malah menilai pengenaan pajak atas gaji, merupakan hal yang baru berlaku di negara kita.

Padahal, potongan tersebut sudah berlaku sejak lama. Yang diumumkan Sri Mulyani sebetulnya perubahan gaji minimal yang terkena pajak.

Menteri Keuangan Sri Mulyani|dok. Kompas.com/Haryantipuspasari
Menteri Keuangan Sri Mulyani|dok. Kompas.com/Haryantipuspasari

Jika sebelumnya yang terkena pajak adalah mereka yang bergaji Rp 4,5 juta ke atas, sekarang dinaikkan batasnya menjadi Rp 5 juta ke atas.

Artinya, pemerintah justru telah memperhatikan aspirasi mereka yang bergaji tergolong rendah, untuk membebaskannya dari potongan pajak.

Dalam hal ini, gaji Rp 5 juta per bulan bisa dikatakan tidak tergolong rendah, karena sudah di atas Upah Minimum Regional (UMR).

Masalahnya, mungkin selama ini banyak karyawan yang tak menyadari bahwa gaji yang mereka terima sudah terpotong pajak.

Setidaknya, ada 3 kemungkinan, kenapa banyak karyawan merasa seolah-olah mereka tidak kena pajak.

Pertama, karena pajak atas gaji mereka telah dibayarkan langsung oleh perusahaan. Ini memang yang paling lazim terjadi.

Artinya, yang ditransfer oleh perusahaan ke rekening si karyawan adalah jumlah setelah dipotong pajak. 

Jika karyawan meneliti ke slip gajinya, baru akan ketahuan besar perhitungan pajaknya.

Hanya saja, karena pembayaran gaji via rekening bank, slip gaji pun yang biasanya dikirim secara online atau via email, kadang-kadang tidak diperhatikan karyawan.

Sepanjang sudah ada notifikasi dari bank bahwa ada transfer masuk untuk pembayaran gaji, karyawan biasanya tak begitu peduli dengan slip gaji.

Kedua, ada kemungkinan, siapa tahu masih ada perusahaan yang melaporkan daftar gaji karyawan yang berbeda dengan yang sesungguhnya ditransfer ke semua karyawan.

Umpamanya, gaji para karyawan Rp 4,7 juta per orang. Karena di atas Rp 4,5 juta, sesuai ketentuan sampai akhir tahun 2022, harusnya dipotong pajak sebesar 5 persen. Tapi, yang dilaporkan oleh perusahaan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) adalah Rp 4,4 juta per karyawan setiap bulan.

Sehingga, perusahaan merasa nyaman-nyaman saja dengan tidak memungut dan menyetorkan pajak karyawannya.

Hal ini tentunya menjadi tantangan bagi KPP untuk mendeteksi adanya praktik yang melanggar ketentuan seperti di atas.

Ketiga, kemungkinan lain adalah yang terjadi pada perusahaan skala rumah tangga, yang berani menggaji karyawan tertentu yang punya keahlian khusus sebesar Rp 5 juta ke atas.

Tapi, karena ketidaktahuan atau kelalaian si pemilik usaha, karyawan tersebut tidak dipungut dan tidak disetorkan pemotongan pajaknya ke kas negara.

Harus diakui, tingkat kepatuhan wajib pajak di negara kita masih perlu ditingkatan lagi.

Namun, sebelum aparat pajak melakukan penindakan terhadap para pelanggar, sebaiknya sosialisasi dilakukan lebih gencar.

Memang, pada dasarnya masyarakat sudah antipati duluan kalau diajak membahas kewajiban perpajakan.

Kesadaran masyarakat itulah yang perlu digugah, karena penerimaan negara dari perpajakan sangat menetukan kelangsungan pembangunan di negara kita.

Di lain pihak, kita juga berharap agar kebocoran penerimaan negara karena dikorupsi oknum aparat negara, bisa ditekan sekecil mungkin.

Sehingga, jerih payah para pembayar pajak betul-betul digunakan pada tempatnya, sesuai yang disusun dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun